TEMPO.CO , Yogyakarta - Proses pencarian identitas korban pesawat Shukoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak melalui pencocokan DNA memerlukan waktu dua minggu. Meski begitu, ada upaya lain yang bisa dipercepat untuk mengetahui identitas para korban agar jenazah korban bisa segera diterima keluarga, yakni melalui identifikasi gigi.
Menurut pakar antropolog ragawi dari Universitas Airlangga, Profesor Josef Glinka SVD, jika memiliki catatan dokter gigi dari korban, keluarga dapat menyerahkan data tersebut kepada tim Disaster Victim Identification Indonesia (DVI).
“Kalau korban pernah mencabut gigi, menambal gigi, pasti dokter punya record pasiennya. Berdasarkan gigi yang bersangkutan bisa mengidentifikasi,” kata Profesor Glinka kepada Tempo, Minggu 13 Mei 2012.
Hanya, identifikasi melalui gigi ini dengan catatan pada jenazah masih terdapat kerangka kepalanya. Dengan demikian bila kerangka kepala korban ditemukan dan ada catatan medis pasien dari dokter gigi, korban ini tak memerlukan pemeriksaan DNA.
“Kalau kondisinya hancur, satu-satunya yang bisa dilakukan DNA,” kata dia.
Sebagai guru besar yang pernah mengepalai Departemen Antropologi Universitas Airlangga, Prof Glinka menyampaikan tim UNAIR diterjunkan ke Jakarta untuk membantu proses identifikasi. “Ada doktor antropolog forensik terbaik di UNAIR yang ikut dalam tim itu,” katanya.
Tak banyak yang mengetahui bahwa dalam setiap peristiwa besar kecelakaan di Indonesia antropolog forensik merupakan salah satu garda terdepan dalam proses identifikasi.
Antropologi forensik merupakan bidang ilmu untuk physical anthropologists yang mengaplikasikan ilmunya dalam bidang biologi, sains, dan budaya dalam proses hukum. Antropologi forensik memeriksa sisa rangka manusia. Forensik antropologi terutama untuk menentukan identitas jasad berdasar bukti yang tersedia, yaitu menentukan jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, dan pertalian ras.
Hanya sayangnya Indonesia hanya memiliki dua doktor antropolog forensik, yakni Prof. Dr. Etty Indriati Kepala Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Universitas Gadjah Mada dan Dr. Toetik Koesbardiati, Lektor Kepala di Departemen Antropologi FISIP Universitas Airlangga. “Padahal Indonesia sangat membutuhkan antropolog yang banyak,” kata Prof. Glinka.
BERNADA RURIT