TEMPO.CO, Sao Paulo - Rupa mamalia pemakan semut sekilas tampak seperti hewan lemah. Moncongnya lancip, penglihatannya buruk, nyaris tuli, dan tak punya gigi. Makanannya pun cuma semut dan rayap yang dipancing dengan menggunakan lidah serupa cacing. Jelas dia bukan karakter hewan predator. Namun binatang itu ternyata bisa berbahaya saat terdesak dan sanggup membunuh manusia.
Pemakan semut sebenarnya bukan hewan agresif. Hewan itu pun biasanya menghindari kontak dengan manusia. Kasus serangan pemakan semut jarang sekali terjadi. Namun kasus yang tak kerap terjadi itu bisa berakhir fatal. Di Brasil, ada dua pemburu yang tewas setelah diserang pemakan semut raksasa.
Laporan yang dimuat dalam jurnal Wilderness and Environmental Medicine, 14 Juli 2014, menyebutkan kasus serangan mematikan di Brasil seharusnya menjadi peringatan bagi manusia untuk tidak mendekati pemakan semut atau area sarangnya. Laporan itu merupakan studi tentang serangan fatal pemakan semut yang membunuh dua orang. "Mereka itu sebetulnya petani yang tengah berburu, lalu diserang pemakan semut yang terluka atau terpojok," kata Vidal Haddad, pemimpin studi dari Botucatu School of Medicine, Sao Paulo State University.
Hewan yang terdiri atas empat spesies ini masuk dalam kategori rentan di daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN). Spesies terbesar pemakan semut raksasa (Myrmecophaga tridactyla) panjangnya bisa mencapai dua meter. Biasanya habitat seekor pemakan semut mencakup wilayah seluas tiga kilometer persegi. Namun habitat yang terus menyusut menjadi ancaman terbesar bagi hewan ini.
Hewan itu rentan tertabrak kendaraan saat menyeberangi jalan yang membelah habitat mereka karena rabun dan nyaris tuli. Mereka kerap menjadi korban pembukaan lahan untuk perkebunan tebu. Pembukaan lahan sering dilakukan lewat pembakaran. Ujungnya, banyak pemakan semut ditemukan mati terbakar atau menderita luka bakar parah. Hewan ini juga kerap diburu untuk dimakan atau jadi komoditas perdagangan ilegal.
Kasus pertama yang dipelajari dalam studi Haddad dan koleganya itu terjadi pada 2010. Saat itu pemakan semut menyerang pria berusia 75 tahun yang tengah berburu di hutan di wilayah Mato Grosso, Brasil. Pada tubuh pria nahas itu ditemukan luka parah yang membuatnya mati kehabisan darah.
Kasus berikutnya, terjadi pada Agustus 2012, menimpa seorang petani yang berburu bersama dua putranya. Anjing yang mereka bawa mengepung pemakan semut. Terdesak, hewan itu lalu berdiri dengan dua kaki belakangnya seperti pose seseorang yang meminta pelukan. Alih-alih menembak, petani itu mendekati pemakan semut sambil menggenggam pisau. Efeknya fatal. Hewan itu merengkuh si petani dan sempat mencabik tubuhnya sebelum direbut oleh putranya yang akhirnya juga menderita luka.
Meski rabun dan nyaris tuli, pemakan semut punya senjata mematikan, yaitu kuku tajam yang panjangnya mencapai 10 sentimeter. Kuku itu sejatinya digunakan untuk membongkar sarang semut atau rayap. Namun, seperti pada kasus dua pemburu Brasil, kuku itu jadi senjata efektif bagi hewan soliter itu untuk melindungi diri.
Dari hasil investigasi terhadap korban, dokter menemukan memar di leher, luka tusukan, dan sobekan parah di beberapa bagian tubuh. "Luka yang mereka alami sangat serius dan kami tak tahu apakah itu betul-betul mekanisme pertahanan diri yang dilakukan binatang," kata Haddad.
Pemakan semut hidup di alam liar di benua Amerika, namun jumlahnya terus menyusut. Hewan yang masih berkerabat dengan kukang dan armadilo itu bahkan dipercaya sudah punah di Belize, El Salvador, Guatemala, dan Uruguay. Sementara itu, sekitar 5.000 ekor diperkirakan hidup di alam liar Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Rebbeca Lohse, penjaga hewan di Reid Park Zoo, Arizona, mengatakan alpukat dan jeruk juga ada dalam menu pemakan semut. Lohse menambahkan, hewan itu mudah sekali kaget. "Suara pesawat, gergaji kayu, atau peniup daun bisa mengejutkan mereka," katanya.
Penjaga hewan biasanya berusaha tidak berada di tempat yang sama dengan pemakan semut. Saat tersudut, menurut Lohse, pemakan semut membela diri dengan posisi berdiri pada kaki belakangnya dan mengayunkan kaki depannya dari sisi ke sisi. "Mereka punya otot kaki yang kuat dan kuku-kuku itu panjang," katanya.
LIVESCIENCE | PHYS.ORG | GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Terpopuler:
Ini Teknik Mengetahui Dalang di Balik Situs Palsu
Bersalaman Sebarkan Bakteri Lebih Banyak
Ini Baterai Isi Ulang Tercepat di Dunia
Apple Segera Pecat 200 Karyawan Beats
Pemburu Badak Afrika Divonis 77 Tahun Penjara