TEMPO.CO, Surabaya - Hasil riset Pusat Penelitian Politik dan Pemerintahan (Polgov) Universitas Gajah Mada Yogyakarta menunjukkan, pertambangan emas di Banyuwangi, Jawa Timur, berisiko tinggi terhadap masyarakat sekitar. Pemerintah Banyuwangi dianggap mengabaikan pengetahuan lokal masyarakat terhadap gunung setinggi 450 meter dari permukaan laut itu.
Polgov UGM memaparkan hasil penelitiannya berjudul “Hindari Keserampangan Pengerukan Alam” di Surabaya, Selasa, 26 Januari 2016. Penelitian tersebut dilaksanakan pada Agustus 2015 sampai dengan Desember 2015.
Peneliti Polgov UGM, Dian Lestariningsih, mengatakan masyarakat sekitar memiliki pengetahuan yang kompleks terhadap Gunung Tumpang Pitu, di antaranya sebagai benteng alam dari tsunami, pemecah angin barat daya, dan penunjuk arah bagi nelayan lokal. Selain itu, pemeluk agama Hindu sejak 1974 mendirikan Pura Segara Tawang Alun di kaki gunung tersebut.
Pengabaian terhadap pengetahuan lokal itu, kata dia, terjadi karena sejak 2006, pemerintah Banyuwangi terus memberikan izin pertambangan emas. Akibatnya, konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang terus terjadi. “Konflik terjadi karena warga khawatir lingkungan rusak, adanya risiko bencana, sempitnya kesempatan kerja, permintaan ganti rugi, dan berbenturan dengan potensi wisata,” kata Dian.
Kekhawatiran atas pencemaran lingkungan tetap membayangi masyarakat. Belajar dari tambang Newmont di Sulawesi Utara, misalnya, untuk mendapatkan 1 gram emas, perusahaan itu membuang 2,1 ton limbah batuan dan lumpur. Dibuang pula 5,8 kilogram emisi beracun, seperti timbal, merkuri, dan sianida. Sementara itu, mayoritas pekerjaan masyarakat sekitar adalah nelayan dan petani.
Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada Purwo Santoso mengatakan pengetahuan lokal masyarakat merupakan pemahaman kolektif yang tumbuh dari hasil percampuran tradisi, agama, dan inovasi. Agama Islam dan Hindu sama-sama memiliki konsep relasi antara manusia dan penciptanya, manusia dan alam, serta manusia dan manusia. “Mencegah kerusakan seharusnya lebih diutamakan daripada mengambil manfaatnya,” kata Purwo.
Tahun 2006, pemerintah Banyuwangi memberi izin usaha pertambangan kepada PT Indo Multi Niaga. Kemudian, IUP dialihkan ke PT Merdeka Copper Gold melalui kedua anak perusahaannya, yakni PT Bumi Suksesindo yang menguasai 4.998 hektare dan PT Damai Suksesindo yang menguasai 6.623 hektare.
Kepala Bidang Pertambangan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan Budi Wahono menilai hasil penelitian UGM tersebut timpang. Sebab, beberapa pengetahuan lokal warga sudah terakomodasi di dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Menurut Budi, tambang tersebut dapat memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Sebab, saat ini pemerintah Banyuwangi berhasil mendapatkan 10 persen saham perusahaan. “Perolehan saham ini tertinggi di dunia,” ujarnya.
IKA NINGTYAS