TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan pemerintah Jepang melakukan kerja sama pengkajian dan penerapan teknologi pengembangan senyawa obat antimalaria dan antiamuba.
"Dalam hal ini, kami bekerja sama dengan Jepang dan didukung institusi-institusi dalam negeri memanfaatkan sumber daya hayati atau bioresources yang ada di Indonesia untuk membuat vaksin obat antimalaria dan antiamuba," kata Kepala BPPT Unggul Priyanto di Jakarta, Selasa, 2 Februari 2016.
Hal tersebut ia sampaikan di sela acara "the Joint Coordinating Committee (JCC) for the SATREPS Project by Utilizing Diversity of Indonesia Bio-resources (SLeCAMA)" di kantor BPPT.
Dia berharap, melalui kerja sama ini, BPPT bisa menemukan obat yang betul-betul bermanfaat untuk berbagai macam penyakit tropis, salah satunya malaria.
Kegiatan kerja sama melalui program Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development (SATREPS), yang dilakukan selama 5 tahun, ini ditargetkan mendapatkan dua senyawa kandidat obat antimalaria dan antiamuba yang lolos uji praklinis.
Selain itu, kegiatan ini diharapkan mendorong riset pengembangan obat untuk penyakit khas Indonesia dalam rangka meningkatkan kemandirian nasional di bidang bahan baku obat.
Untuk pengkajian tersebut, BPPT juga bekerja sama dengan mitra-mitra di dalam negeri, yaitu Universitas Airlangga dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sedangkan dari Jepang, BPPT bekerja sama dengan Kitasato University, Tokyo University, dan Microbiopharm Japan.
Kerja sama ini didukung pemerintah Jepang melalui program SATREPS yang dikelola Japan International Cooperation Agency.
ANTARA