TEMPO.CO, Bandung - Peneliti Klimatologi dari Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, Erma Yulihastin, mengatakan skenario bencana terburuk perlu dipikirkan menghadapi musim kemarau basah di Indonesia 2016-2017. “Kalau pun tidak terjadi, yang penting sudah siap-siap,” katanya, Rabu, 8 Juni 2016.
Berdasarkan prediksi model iklim, Lapan mencatat adanya kemunculan faktor-faktor musim kemarau basah. Artinya, saat masa kemarau seperti pada umumnya, curah hujan di Indonesia masih tinggi, bisa dari intensitas, durasi lamanya hujan, atau persistensi.
Baca Juga:
Skenario bencana terburuk ialah La Nina dan musim hujan yang waktu puncaknya berbarengan mulai Desember 2016 hingga Februari 2017. “Dampak skalanya luar biasa untuk banjir dan longsor se-Indonesia,” ujar Erma.
Masa tanam dan panen juga akan terpengaruh oleh kemarau basah. Kementerian Pertanian, ujarnya, beberapa kali mengundang para peneliti dari BMKG dan Lapan untuk rapat membahas anomali cuaca tersebut. Namun belum diketahui langkah antisipasi dan kebijakan penanganannya.
Selain di daratan, jalur penerbangan bisa berbahaya karena munculnya awan Comulonimbus selama kemarau basah. Jalur pelayaran dan kapal nelayan juga bisa berhadapan dengan gelombang tinggi laut. “Saya khawatir terjadi bencana nasional di berbagai pulau di Indonesia,” kata Erma.
Sementara itu, para peneliti dari ITB, BPPT, dan LIPI telah menanam beberapa alat pemantau longsor di Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan Kabupaten Bandung. Sejauh ini, mereka masih terkendala pengoperasian alarm longsor. “Sistem pemantau longsor ini alat ukurnya rumit karena faktor penyebab longsornya banyak,” kata anggota tim pemasangan alat Landslide Early Warning System, Muhammad Miftahul Munir.
ANWAR SISWADI