TEMPO.CO, Surabaya - Ilmuwan di Pusat Penelitian Flu Burung atau Avian Influenza Research Center (AIRC) Universitas Airlangga meminta pemerintah mengawasi penggunaan vaksin terhadap ternak unggas. Penggunaan vaksin flu burung yang tak terkendali ditengarai sebagai pemicu merebaknya kembali penyakit tersebut di Indonesia.
Kepala AIRC Unair, Chairul Anwar Nidom, mengatakan penularan bisa terjadi melalui berbagai medium. Di antaranya air, udara, kontaminasi lewat lalu lintas orang dan kendaraan, termasuk metode angon. “Hewan yang kosong alias tanpa antibodi karena tidak divaksin, bisa bertemu dengan hewan yang sudah divaksin,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 18 Maret 2016.
Di sisi lain, di Indonesia masih berkembang pemahaman mengenai pemberian vaksin yang tidak tepat. “Masyarakat beranggapan bahwa vaksinasi seperti memberi vitamin pada hewan; kapan pun dan berapa kali pun boleh,” kata Nidom. Akhirnya, hal ini berpengaruh terhadap budgeting atau penentuan anggaran di pemerintah daerah.
Menurut Nidom, anggaran dana yang tidak tepat juga menjadi pemicu penyalahgunaan vaksin. Pada waktu pengajuan anggaran, tak jarang pemerintah hanya menyetujui sebagian dari populasi ternak yang seharusnya diberi vaksin.
“Total populasi tidak sesuai angka yang disetujui. Misalnya dari kebutuhan satu juta dosis untuk satu juta ekor unggas, yang disetujui misalnya separuhnya. Nah sisanya yang 500 ribu, ini mau bagaimana buat vaksinasinya?”
Padahal, vaksinasi yang tebang pilih akan membawa dampak yang tak kalah berbahaya. Tatkala virus menyerang yang tidak tervaksinasi, ia dapat berubah atau bermutasi—yang sebelumnya berusaha dimatikan oleh vaksin. “Perubahan virus yang baru ini ketika menyerang hewan yang tidak divaksinasi, bakal menyebabkan kematian ternak lebih cepat.”
Kemungkinan kedua, kata Nidom, pemerintah justru menganggarkan jumlah vaksin dua kali lipat dari kebutuhan di populasi karena takut program tidak terealisasi sampai 100 persen. Namun ketika program selesai dan masih terdapat stok vaksin, sisanya dihabiskan dengan cara disuntikkan kepada ternak lagi.
“Ini yang saya katakan sebagai berlebihan tanpa mengindahkan kaidah vaksinasi. Saya tidak menuduh siapa-siapa, tapi itu bisa saja terjadi,” kata dia.
Untuk itu, Nidom menegaskan, pengawasan penggunaan vaksin tak kalah penting dibandingkan pemberian vaksin pascakejadian terhadap ternak unggas. “Seharusnya pencegahan penyakit tidak bergantung pada anggaran dana, tapi bergantung pada risiko penyakit itu sendiri,” tuturnya.
Lebih dari 7.000 unggas, yang didominasi itik, dipastikan mati akibat terjangkit virus flu burung di Dusun Wringinagung, Desa Sumberjo, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi. Dinas Peternakan Kabupaten Banyuwangi menyebutkan, di dusun tersebut terdapat 30 peternak dengan jumlah populasi unggas lebih dari 10 ribu ekor, yang terdiri atas 9.000 itik, 2.000 ayam, dan sekitar 200 mentok. Sedangkan 735 ekor ternak unggas mati di Desa Sembung, Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan.
ARTIKA RACHMI FARMITA