Distribusi Plasma Konvalesen untuk Pasien Covid-19 Disoal, Amerika Bimbang

Reporter

Terjemahan

Sabtu, 22 Agustus 2020 22:53 WIB

Petugas medis menyusun kantong berisi plasma konvalesen dari pasien sembuh COVID-19 di Unit Tranfusi Darah (UTD) Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta, Selasa 18 Agustus 2020. Pengambilan plasma konvalesen pasien sembuh COVID-19 yang menggunakan alat apheresis bertujuan untuk membantu penyembuhan pasien terkonfirmasi COVID-19. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menyerukan kepada mereka yang telah sembuh dari Covid-19 untuk mendonasikan plasma darahnya untuk membantu pengobatan para pasien lain. Trump menyebut seruannya untuk terapi plasma konvalesen itu mendapat respons yang besar di negaranya.

Sementara itu, rumor telah terdengar kalau regulator obat AS (FDA) tengah berdebat apakah akan memberikan plasma darah konvalesen kepada lebih banyak orang dengan menetapkannya sebagai terapi darurat. Tapi para peneliti dan dokter di dunia khawatir kalau dorongan untuk distribusi plasma darah itu bisa mengesampingkan rangkaian uji klinis yang dibutuhkan untuk menentukan apakah plasma darah benar-benar bekerja melawan Covid-19.

Meski beberapa rumah sakit di Amerika Serikat, dan negara lain di dunia termasuk Indonesia, telah mulai menggunakannya kepada pasien Covid-19 tertentu, penetapan plasma darah sebagai terapi darurat dari FDA tentu akan membuat lebih mudah memperoleh dan memberikan terapi plasma konvalesen--cairan kuning yang tersisa setelah sel-sel diekstrak dari darah--ini.

Padahal, sejauh ini, mantan komisaris FDA Robert Califf mengungkapkan, hanya sedikit bukti kalau plasma darah benar-benar membantu pasien. Menurutnya, baru obat antivirus remdesivir dan obat antiperadangan dexamethasone yang telah teruji menghambat Covid-19 lewat uji klinis.

Sedang plasma konvalesen disebutnya baru diuji pada kelompok kecil uji klinis tanpa kekuatan statistik untuk menyediakan kesimpulan yang tegas. FDA pun belum menjelaskan landasan apa yang akan akan digunakan jika menetapkan plasma darah sebagai terapi darurat.

Advertising
Advertising

"Ini adalah terapi potensial yang bisa saja efektif, dan saya kira bukan tidak mungkin disediakan. Tapi uji klinis acak adalah proritas pertama," kata Califf yang kini memimpin strategi dan kebijakan klinis di Verily and Google Health di South San Francisco, California.

Model COVID-19 yang berpengaruh yang diproduksi oleh University of Washington merevisi proyeksinya pada hari Senin, memperkirakan lebih dari 134.000 COVID-19 kematian di Amerika Serikat hingga Agustus. KREDIT: CHINA CENTRAL TELEVISION

Selama lebih dari satu abad, para dokter telah memanfaatkan plasma konvalesen untuk mengobati pasien lain. Termasuk di antaranya dalam kasus Ebola dan MERS. Idenya adalah bahwa plasma berisi antibodi dan protein yang terlibat dalam regulasi respons imun tubuh. Dan beberapa antibodi itu mungkin telah membantu pemulihan si pendonor dari infeksi penyakit yang dideritanya--sehingga membagikannya kepada pasien lain diharapkan memicu pemulihannya pula.

Baca juga:
Trump Bolak Balik Sebut Jet Siluman F-35 Tak Terlihat Mata, Padahal Tidak

Terapi ini dianggap logis diterapkan dalam menghadapi infeksi Covid-19. "Tapi peneliti harus bisa mendapatkan tingkat efektivitasnya di tengah pandemi ini," kata Michael Joyner, pakar anestesiolog di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota.

<!--more-->

Satu hal yang pasti, plasma konvalesen dari setiap orang tidak sama kandungan atau konsentrasi antibodinya, sehingga memberi tantangan untuk mempelajarinya. Juga para peneliti tidak mungkin mengukur dan menerapkan standar konsentrasi antibodi di setiap sampel.

Bahkan saat ini, para peneliti di beberapa bagian dunia tidak mampu menguji apakah plasma darah mengandung 'antibodi penetralisir' yang kuat yang bisa mencegah replikasi virus. "Karena untuk mengurainya sangat mahal dan membutuhkan prosedur pemisahan khusus," kata Fazle Chowdhury, spesialis penyakit menular di Bangabandhu Sheikh Mujib Medical University di Dhaka, Bangladesh.

Mengumpulkan data uji klinis yang tegas dari penerapan terapi ini juga dipandang sulit karena para dokter telah memberikan terapi plasma darah ini kepada pasien yang sakit parah berdasarkan 'rasa kasihan'. Di Amerika Serikat, misalnya, program khusus yang disponsori Biomedical Advanced Research and Development Authority (BARDA) telah membagikan terapi plasma darah atas dasar itu kepada 66 ribu pasien--tanpa menjalankan kelompok kontrol (plasebo).

Para peneliti di program itu lalu mengumpulkan data dari 5.000 orang dan mempublikasikannya dengan pernyataan kalau terapi itu secara umum aman. "Tapi kita tidak tahu apa yang terjadi jika Anda membagikannya berdasarkan empati," kata Chowdhury. “Jika kita menggunakan plasma konvalesen, ini seharusnya melalui sebuah uji klinis."

Sebuah mesin apheresis memisahkan dan mengumpulkan plasma dari seluruh darah dari pasien Covid-19 yang telah pulih di Central Seattle Donor Center of Bloodworks Northwest, Washington, AS, Jumat 17 April 2020. ANTARA FOTO/Reuters-Lindsey Wasson/hp.

Tanpa adanya kelompok kontrol pula, tim di program itu mengamati lebih dari 35 ribu pasien penerima plasma donor dan membandingkan hasil dari mereka yang menerima plasma dengan kadar antibodi rendah dan tinggi. Studi itu, dipublikasi sebelum mendapat peer review, menyatakan mereka yang menerima transfusi segera setelah terdiagnosis infeksi Covid-19 dan menerima kandungan antibodi yang tinggi menunjukkan pemulihan yang lebih besar dan kemungkinan meninggal lebih rendah.

"Ini adalah temuan yang ekstrem penting," kata Cassandra Josephson, seorang pediatrik di Emory University di Atlanta, Georgia, yang merawat pasien Covid-19 anak-anak.

Baca juga:
Studi: OTG Anak-anak Lebih Berbahaya Tularkan Covid-19

Anthony Gordon, dokter anestesi di Imperial College, London, berpendapat berbeda. Dia menilai sulit mengambil kesimpulan tegas dari studi itu sejak minimnya pengacakan. Sebagai contoh, pasien penerima terapi plasma konvalesen mungkin saja telah menerima pengobatan sebelumnya sehingga peluang sembuhnya lebih besar. "Intinya, kita hanya bisa lihat keterkaitan, bukan melihat sebab dan efek," katanya.

NATURE

Berita terkait

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

7 jam lalu

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

Kemenkes mendapat beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Ini Agenda Masa Jabatan Kedua Trump, termasuk Deportasi Massal

8 jam lalu

Ini Agenda Masa Jabatan Kedua Trump, termasuk Deportasi Massal

Donald Trump meluncurkan agenda untuk masa jabatan keduanya jika terpilih, di antaranya mendeportasi jutaan migran dan perang dagang dengan Cina.

Baca Selengkapnya

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

13 jam lalu

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

Selain AstraZeneca, ini deretan vaksin Covid-19 yang pernah digunakan di Indonesia

Baca Selengkapnya

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

19 jam lalu

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

MUI sempat mengharamkan vaksin AstraZeneca. Namun dibolehkan jika situasi darurat.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

22 jam lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

1 hari lalu

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

Astrazeneca pertama kalinya mengakui efek samping vaksin Covid-19 yang diproduksi perusahaan. Apa saja fakta-fakta seputar kasus ini?

Baca Selengkapnya

Terancam Dipenjara, Trump Dijatuhi Denda Rp146 Juta karena Langgar Perintah Pembungkaman

2 hari lalu

Terancam Dipenjara, Trump Dijatuhi Denda Rp146 Juta karena Langgar Perintah Pembungkaman

Hakim yang mengawasi persidangan pidana uang tutup mulut Donald Trump mendenda mantan presiden Amerika Serikat itu sebesar US$9.000 atau karena Rp146

Baca Selengkapnya

Virus Flu Burung di AS, Para Pakar: Epidemi Telah Berlangsung Lama

5 hari lalu

Virus Flu Burung di AS, Para Pakar: Epidemi Telah Berlangsung Lama

FDA memergoki temuan satu dari lima sampel susu komersial yang diuji dalam survei nasional mengandung partikel virus H5N1atau virus Flu Burung

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

6 hari lalu

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

KPK masih terus menyelidiki kasus korupsi pada proyek pengadaan APD saat pandemi Covid-19 lalu yang merugikan negara sampai Rp 625 miliar.

Baca Selengkapnya

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

7 hari lalu

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

Langkah ini untuk menghindari kebingungan penularan wabah yang terjadi di awal pandemi COVID-19, yang menyebabkan korban jiwa yang cukup signifikan.

Baca Selengkapnya