Konsep Gedung Buatan Mahasiswa ITS Ini Mampu Tahan Guncangan Gempa Magnitudo 5,5
Reporter
magang_merdeka
Editor
Yohanes Paskalis
Jumat, 1 November 2024 15:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tim mahasiswa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyabet juara 3 kompetisi model bangunan beton pracetak lewat proyek Eco-Quake, konsep bangunan tahan gempa yang menerapkan prinsip keberlanjutan. Kategori gedung beton itu dilombakan dalam Kontes Bangunan Gedung Indonesia (KBGI) 2024 yang diadakan di Universitas Warmadewa, Bali, pada 8 Oktober lalu.
Handika Ardhi Nugraha dan Bayu Anggoro Sekti, dua mahasiswa Departemen Teknik Infrastruktur Sipil ITS, menerapkan konsep strong column weak beam (SCWB)—hitungan perbandingan kolom dan balok—untuk mengantisipasi guncangan gempa. Elemen ini penting sebagai penopang utama bangunan.
Purwarupa bangunan yang dikembangkan Handika dan Bayu memiliki dimensi kolom atau tiang vertikal 15 x 15 milimeter, serta balok atau tiang horizontal 12 x 8 milimeter. Konsep ini dinyatakan lolos uji coba lantaran bisa menahan guncangan gempa berkekuatan magnitudo 5,5 selama 1 menit. Dari percobaan, tim hanya memperolah simpangan atau pergeseran 2,011 milimeter, serta beberapa kerusakan minor.
Handika menyebut faktor lingkungan juga krusial dalam pendirian bangunan tahan gempa. Jenis tanah dan risiko seismik di sekitar bangunan, misalnya, menentukan stabilitas bangunan saat diguncang lindu.
“Dengan mempertimbangkan faktor tersebut, bangunan diharapkan dapat menahan guncangan secara optimal,” kata Handika, dilansir dari laman berita kampus ITS, Selasa, 29 Oktober 2024.
Untuk memperkuat konsep pembangunan berkelanjutan, Handika dan Bayu yang berlomba dengan nama tim ‘Asura’ itu memakai inovasi semen self compacting concrete (SCC). Material yang dipakai untuk struktur utama itu berbeda dengan semen pada umumnya. Menurut Handika, SCC terbuat dari bahan-bahan alternatif seperti cangkang telur dan serbuk granit, sehingga lebih ramah lingkungan.
“Semen ini juga memiliki tingkat efisiensi yang tinggi karena mampu memadat sendiri dalam waktu yang lebih cepat dari beton biasa,” tutur dia.
Bayu Mentari berkontriusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Gunung Fuji Jepang Tanpa Salju Dampak Panas Ekstrem, Terparah dalam 130 Tahun