Manusia Berjalan Tegak Karena Panas

Reporter

Editor

Selasa, 15 Juni 2010 09:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Jika Anda menganggap musim kemarau ini amat panas, bersyukurlah karena Anda tidak tinggal di Turkana Basin, Kenya. Temperatur harian rata-rata di wilayah itu mencapai angka di atas 32 derajat Celsius, bahkan jauh lebih tinggi, sepanjang tahun, selama 4 juta tahun terakhir.

Tingginya temperatur di kawasan yang dianggap sebagai asal mula evolusi manusia itu diyakini punya peran dalam evolusi manusia. Benjamin Passey, peneliti kebumian di Johns Hopkins University, menyatakan, kebutuhan untuk tetap merasa sejuk di wilayah itu dianggap sebagai penyebab mengapa manusia belajar untuk berjalan tegak, hilangnya rambut tebal yang tumbuh rapat membungkus tubuh nenek moyang mereka, serta kemampuan untuk berkeringat lebih banyak.

"Pesan yang kami peroleh adalah kawasan ini, situs penting tempat ditemukannya fosil yang mendokumentasikan evolusi manusia, adalah daerah yang amat panas untuk masa yang sangat lama, bahkan sepanjang periode antara 3 juta tahun lalu dan kini ketika zaman es dimulai dan iklim global mendingin," kata Passey, staf pengajar di Morton K. Blaustein Department of Earth and Planetary Sciences di Zanvyl Krieger School of Arts and Sciences, universitas itu.

Pada laporan yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, Passey mengatakan kesimpulan itu memberikan dukungan terhadap apa yang disebut sebagai hipotesis termal evolusi manusia. Hipotesis itu menyatakan bahwa manusia purba yang menjadi nenek moyang manusia modern memperoleh manfaat evolusioner dalam berjalan tegak karena hal itu membuatnya merasa lebih sejuk, lantaran udara di dekat permukaan tanah jauh lebih panas pada siang hari daripada udara yang terletak beberapa kaki di atas tanah.

Berjalan tegak membuat massa tubuh yang terkena cahaya matahari jauh lebih sedikit daripada ketika mereka merangkak dengan keempat kaki. Hipotesis itu juga menyatakan bahwa kemampuan mengatur temperatur tubuh melalui keringat adalah bentuk adaptasi yang sangat berguna untuk hidup di daerah beriklim hangat.

Advertising
Advertising

"Untuk mengetahui apakah hipotesis itu benar atau keliru, kami harus mengetahui apakah kondisi di sana pada saat terjadinya perubahan itu benar-benar panas," katanya. "Jika memang panas, hipotesis itu layak dipercaya. Jika tidak, kami akan menyingkirkan hipotesis tersebut."

Mengevaluasi bagaimana iklim Turkana Basin purba, yang hingga saat ini masih tetap "membara", sangat sulit dilakukan karena hanya sedikit cara untuk menentukan temperatur purba. Upaya untuk mendapatkan temperatur 4 juta tahun lalu lewat analisis fosil serbuk sari, kayu, dan mamalia tidak memuaskan, kata Passey, karena fosil itu hanya mengungkapkan informasi tentang tumbuhan dan curah hujan, bukan suhu masa lalu.

Sebagai mantan anggota tim California Institute of Technology yang mengembangkan pendekatan geokimia terhadap masalah temperatur, Passey memanfaatkan cara tersebut. Metode itu mencakup penentuan temperatur mineral karbonat yang terbentuk secara alami dalam tanah, termasuk batuan sedimen yang disebut "caliche" dan hard pan, atau lapisan tanah dengan kerapatan tinggi yang biasanya ditemukan di bawah lapisan tanah teratas.

Temperatur mineral itu diukur dengan menguji "gerombolan" isotop langka. Isotop adalah atom-atom dari unsur sama yang memiliki massa berbeda karena perbedaan jumlah neutron yang mereka miliki.

Dalam kasus karbonat tanah yang umum dijumpai di Turkana Basin, jumlah karbon-13 yang berikatan langsung dengan oksigen-18 langka menghasilkan catatan temperatur selama awal proses pembentukan mineral itu. Analisis itu memberi tahu para ilmuwan bahwa karbonat tanah di daerah itu terbentuk pada temperatur tanah rata-rata, antara 30 dan 35 derajat Celsius.

Temuan itu mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa rata-rata temperatur udara harian bahkan jauh lebih tinggi, atau dengan kata lain, temperatur di wilayah barat laut Kenya pada masa itu sangat panas. "Kami telah memperoleh bukti bahwa habitat di Afrika Timur purba jauh lebih terbuka, yang juga secara hipotetis bagian dari skenario untuk pengembangan bipedalisme (memiliki dua kaki) dan evolusi manusia lainnya, tapi kini kami punya bukti bahwa di sana panas," kata Passey. "Berdasarkan itu, kami bisa mengatakan bahwa hipotesis termal layak dipercaya."

TJANDRA | JHU | SCIENCEDAILY

Berita terkait

Ilmuwan Temukan Spesies Dinosaurus Baru Bernama Farlowichnus Rapidus

24 November 2023

Ilmuwan Temukan Spesies Dinosaurus Baru Bernama Farlowichnus Rapidus

Para ilmuwan mengidentifikasi spesies dinosaurus baru dari jejak kaki di Brasil.

Baca Selengkapnya

Rumah Lelang Christie Hong Kong Batal Jual T. Rex Shen, Kenapa?

27 November 2022

Rumah Lelang Christie Hong Kong Batal Jual T. Rex Shen, Kenapa?

Kerangka T. rex yang batal dilelang untuk rencana penjualan pertama di Asia itu awalnya ditarget mendulang penjualan Rp 392 miliar.

Baca Selengkapnya

Dinosaurus Gargoyle Ditemukan di Argentina , Masih Kerabat Tyrannosaurus

10 Juli 2022

Dinosaurus Gargoyle Ditemukan di Argentina , Masih Kerabat Tyrannosaurus

Dinosaurus ini menunjukkan ada pengurangan jumlah jari dari Abelisaurus memiliki empat jari, sementara tyrannosaurus dua.

Baca Selengkapnya

2 Pandangan Ilmiah yang Dianggap Terkemuka tentang Kepunahan Dinosaurus

26 Februari 2022

2 Pandangan Ilmiah yang Dianggap Terkemuka tentang Kepunahan Dinosaurus

Dinosaurus diperkirakan telah hidup di Bumi selama 160 juta tahun. Hewan purbakala itu dinyatakan punah sejak 66 juta tahun silam

Baca Selengkapnya

Fosil Naga Laut Raksasa 180 Juta Tahun Lalu Ditemukan di Inggris

12 Januari 2022

Fosil Naga Laut Raksasa 180 Juta Tahun Lalu Ditemukan di Inggris

Behemoth adalah fosil terbesar dan terlengkap dari jenisnya yang pernah ditemukan di Inggris.

Baca Selengkapnya

Kronologi Temuan Fosil Kaki Gajah di Pulau Sirtwo Waduk Saguling

14 Oktober 2021

Kronologi Temuan Fosil Kaki Gajah di Pulau Sirtwo Waduk Saguling

Saat berjalan di daratan yang menyembul di tengah danau hingga terbentuk seperti pulau kecil itu, pecahan-pecahan fosil mudah mereka lihat.

Baca Selengkapnya

Tim Paleontolog Teliti Fosil Kaki Gajah di Waduk Saguling

14 Oktober 2021

Tim Paleontolog Teliti Fosil Kaki Gajah di Waduk Saguling

Keberadaan fosil seperti pecahan tengkorak hewan dan rangka kaki gajah masih menempel di batuan.

Baca Selengkapnya

Gojira, Nama Fosil yang Ditemukan di Luksemburg Berasal dari Band Metal Prancis

20 September 2021

Gojira, Nama Fosil yang Ditemukan di Luksemburg Berasal dari Band Metal Prancis

Nama grup band metal Gojiro, diabadikan sebagai sebutan fosil yang ditemukan di Prancis, Luksemburg, dan Austria.

Baca Selengkapnya

Studi: Perubahan Iklim Membunuh Dinosaurus Sebelum Asteroid Menghantam

16 Agustus 2021

Studi: Perubahan Iklim Membunuh Dinosaurus Sebelum Asteroid Menghantam

Sekitar 66 juta tahun lalu, asteroid selebar 12 kilometer menabrak semenanjung Yucatan, memulai musim dingin yang menyebabkan kepunahan dinosaurus.

Baca Selengkapnya

Keindahan Fosil Kumbang Berusia 49 Juta Tahun

15 Agustus 2021

Keindahan Fosil Kumbang Berusia 49 Juta Tahun

Desain indah pada elytra kumbang kuno itu mendorong para peneliti untuk menamakannya Pulchritudo attenboroughi.

Baca Selengkapnya