Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sains di Balik Kulit Hitam Orang Afrika: Hasil Riset Terbaru

Reporter

Editor

Amri Mahbub

image-gnews
Dua wanita berkulit hitam, berpose dengan mengenakan kostum tradisional Jepang, Kimono Yukata saat berlangsungnya Festival Matsuri Jepang 2017 di alun-alun Trafalgar, London, Inggris, 24 September 2017. REUTERS
Dua wanita berkulit hitam, berpose dengan mengenakan kostum tradisional Jepang, Kimono Yukata saat berlangsungnya Festival Matsuri Jepang 2017 di alun-alun Trafalgar, London, Inggris, 24 September 2017. REUTERS
Iklan

TEMPO.CO, Pennsylvania - Hasil riset terbaru mengungkap adanya varian genetik baru yang ternyata mempengaruhi warna kulit kelompok masyarakat di Afrika. Penelitian yang dipimpin ahli genetika Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, dipublikasikan di jurnal Science.

"Kami telah mengidentifikasi varian genetik baru yang berkontribusi pada genetik dasar dari salah satu ciri paling mencolok pada manusia modern," kata ahli evolusi genetika, Sarah Tishkoff, dari University of Pennsylvania, yang menjadi pemimpin studi ini.

Menurut dia, ketika membicarakan warna kulit di Afrika, banyak orang berpikir tentang kulit yang lebih gelap. "Namun hasil penelitian kami menunjukkan bahwa di Afrika terdapat variasi dalam jumlah besar, dari kulit cerah seperti beberapa orang Asia sampai yang paling gelap," ujarnya.

Baca: Hasil Riset: Air di Jakarta Terkontaminasi Mikroplastik

Selain mengidentifikasi varian genetik yang mempengaruhi sifat-sifat tersebut, tim peneliti menyebutkan bahwa mutasi yang mempengaruhi kulit terjadi sejak lama, yakni sebelum manusia modern bermula. Tishkoff mengaku telah lama mempelajari genetika populasi Afrika. Caranya dengan melihat ciri-ciri seperti tinggi badan, toleransi laktosa, kepekaan rasa pahit, dan adaptasi ketinggian. Warna kulit muncul sebagai ciri adaptasi terhadap kehidupan di benua ini.

"Warna kulit adalah sifat variabel klasik pada manusia, dan ini dianggap adaptif," kata Tishkoff. Karena itu, analisis dasar genetik variasi warna kulit menyoroti bagaimana sifat adaptif tersebut berkembang.

Timnya, termasuk periset Afrika, menggunakan pengukur cahaya untuk mengetahui besarnya pantulan kulit pada 2.092 orang di Etiopia, Tanzania, dan Botswana. Hasilnya, kulit tergelap ditemukan pada populasi pastoralis Nilo-Sahara di Afrika bagian timur, seperti Mursi dan Surma. Sedangkan kulit paling ringan terdapat di San Afrika selatan. Adapun untuk kulit orang-orang Agaw di Etiopia ditemukan hasil yang lebih variatif.

Baca: Siapa yang Pertama Hidup di Bumi? Simak Hasil Riset Ini

Pada saat bersamaan, untuk penelitian genetik, para peneliti juga mengumpulkan sampel darah. Mereka mengurutkan lebih dari 4 juta polimorfisme nukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphism (SNP)--salah satu bentuk variasi materi genetik di antara genom 1.570 orang Afrika. Mereka menemukan bahwa empat bidang utama genom SNP tertentu berkorelasi dengan warna kulit.

Kejutan pertama, SLC24A5, salah satu variasi gen yang terdapat di Eropa, juga umum terjadi di Afrika Timur. Di antaranya ditemukan sebanyak setengah anggota beberapa kelompok Etiopia. "Varian ini muncul 30 ribu tahun lalu dan mungkin dibawa ke Afrika Timur oleh orang-orang yang bermigrasi dari Timur Tengah," kata Tishkoff.

Tishkoff melanjutkan, meskipun banyak orang Afrika Timur memiliki gen ini, mereka tidak memiliki kulit putih. "Mungkin karena itu hanya satu dari beberapa gen yang membentuk warna kulitnya."

Tim juga menemukan varian dari dua gen tetangga, HERC2 dan OCA2, yang terkait dengan warna kulit ringan, mata, dan rambut di Eropa yang juga muncul di Afrika; varian ini kuno dan umum di masyarakat berkulit terang. Tim menduga varian ini muncul di Afrika sejak 1 juta tahun lalu kemudian menyebar ke Eropa dan Asia. "Banyak varian gen yang menyebabkan kulit ringan di Eropa berasal dari Afrika," ujar Tishkoff.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun penemuan yang paling dramatis adalah MFSD12. Dua mutasi yang menurunkan ekspresi gen ini ditemukan dalam frekuensi tinggi pada orang dengan kulit tergelap. Varian tersebut muncul sekitar setengah juta tahun lalu. Ini menunjukkan bahwa nenek moyang manusia sebelum waktu itu mungkin memiliki kulit yang agak gelap, bukan warna hitam tua yang diciptakan hari ini oleh mutasi tersebut.

Dua varian gen yang sama ini juga yang ditemukan di Melanesia, Aborigin Australia, dan beberapa orang India. Orang-orang tersebut mungkin mewarisi varian dari migran purba dari Afrika yang mengikuti "rute selatan", yakni dari Afrika Timur lalu sepanjang pantai selatan India ke Melanesia dan Australia.

Baca: Hasil Riset: Orang Bermain Game Tidak Bahagia

Hasil ini agak berbeda dengan tiga studi genetik tahun lalu yang menyimpulkan bahwa orang Australia, Melanesia, dan orang-orang Eurasia semuanya berasal dari satu migrasi Afrika. Sebagai alternatif, migrasi besar ini mungkin termasuk orang-orang yang membawa varian kulit ringan dan gelap, tapi varian gelapnya kemudian hilang di bangsa Eurasia.

Untuk memahami bagaimana mutasi MFSD12 membuat kulit lebih gelap, para periset mengurangi ekspresi gen pada sel kultur, seperti aksi varian pada orang berkulit gelap. Sel-sel itu menghasilkan lebih banyak eumelanin, yakni pigmen yang berperan untuk kulit hitam dan cokelat, rambut, dan mata.

Mutasi juga bisa mengubah warna kulit dengan cara memblok pigmen kuning. Hal itu didapat ketika para peneliti menyingkirkan MFSD12 pada ikan zebra dan tikus. Hasilnya, pigmen merah dan kuning menghilang, dan mantel cokelat terang tikus itu berubah menjadi abu-abu. "Mekanisme baru untuk memproduksi pigmentasi sangat gelap ini benar-benar cerita besar," kata Nina Jablonski, seorang antropolog dari Pennsylvania State University di State College.

Tishkoff menegaskan bahwa penelitian tersebut menggarisbawahi keragaman populasi Afrika. Namun, di sisi lain, ini menjadi bukti betapa kurangnya dukungan untuk gagasan biologi tentang ras. "Banyak gen dan varian genetik baru yang kami identifikasi berhubungan dengan warna kulit, mungkin tidak pernah ditemukan di luar Afrika yang tidak begitu bervariasi," kata Tishkoff.

Baca: Hasil Riset Ini Patahkan Mitos Perempuan Pengendara Buruk

Simak hasil riset menarik lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.

SCIENCE | SCIENCE DAILY | SCIENCE MAG

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

39 hari lalu

Ilustrasi kesepian. Shutterstock
Riset Temukan Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian

Keramaian dan banyak teman di sekitar ak lantas membuat orang bebas dari rasa sepi dan 40 persen orang mengaku tetap kesepian.


Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

39 hari lalu

Peneliti dan Wakil Direktur Asia Maritime Transparency Initiative CSIS Harrison Prtat. Sumber: istimewa
Ekosistem Laut di Laut Cina Selatan Memprihatinkan

Cukup banyak kerusakan yang telah terjadi di Laut Cina Selatan, di antaranya 4 ribu terumbu karang rusak.


Pembangunan di Laut Cina Selatan Merusak Ekosistem dan Terumbu Karang

39 hari lalu

 acara press briefing bertajuk 'Deep Blue Scars Environmental Threats to the South China Sea' yang diselenggarakan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Jumat 15 Maret 2024, di Jakarta. Sumber: dokumen IOJI
Pembangunan di Laut Cina Selatan Merusak Ekosistem dan Terumbu Karang

Banyak pembahasan soal keamanan atau ancaman keamanan di Laut Cina Selatan, namun sedikit yang perhatian pada lingkungan laut


Dua Bulan Lagi, Stanford University Bakal Groundbreaking Pusat Ekosistem Digital di IKN

31 Januari 2024

Model skala Kawasan Inti Pemerintahan Pusat Ibu Kota Nusantara atau IKN. ANTARA/Aji Cakti
Dua Bulan Lagi, Stanford University Bakal Groundbreaking Pusat Ekosistem Digital di IKN

Stanford University, Amerika Serikat, merupakan salah satu universitas yang akan melakukan groundbreaking pusat ekosistem digital di IKN.


Tinjau Pabrik Motherboard Laptop Merah Putih, Dirjen: Riset Perlu Terhubung Industri

29 Januari 2024

Proses quality control PCBA motherboard Laptop Merah Putih di PT. XACTI Raya Jakarta-Bogor No.KM.35, Kelurahan Sukamaju Baru, Kecamatan Tapos, Depok, Senin, 29 Januari 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah
Tinjau Pabrik Motherboard Laptop Merah Putih, Dirjen: Riset Perlu Terhubung Industri

Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi meninjau pabrik motherboard dan menegaskan perlunya riset terhubung dengan industri.


Jatam: Tiga Pasangan Capres Terafiliasi Oligarki Tambang

22 Januari 2024

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan, Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto saat mengikuti debat ketiga Calon Presiden 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu, 7 January 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Jatam: Tiga Pasangan Capres Terafiliasi Oligarki Tambang

Riset Jatam menelusuri bisnis-bisnis di balik para pendukung kandidat yang berpotensi besar merusak lingkungan hidup.


Terkini: KPA Sebut PSN Jokowi Sumbang Laju Konflik Agraria Sepanjang 2020-2023, Bandara Banyuwangi Segera Layani Penerbangan Umroh

15 Januari 2024

Masyarakat Melayu Pulau Rempang berkumpul di Lapangan Sepakbola Dataran Muhammad Musa, Kampung Sembulang, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang pada Rabu (11/10/2023). FOTO: YLBHI
Terkini: KPA Sebut PSN Jokowi Sumbang Laju Konflik Agraria Sepanjang 2020-2023, Bandara Banyuwangi Segera Layani Penerbangan Umroh

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebut Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah era Jokowi mendorong laju konflik agraria.


BRIN: Pangan Jadi Salah Satu Prioritas Riset 2023, Kejar Target Hilirisasi

28 Desember 2023

Kepala BRIN Laksono Tri Handoko berbicara soal prioritas riset di lembaganya sepanjang tahun 2023, salah satunya bidang pangan dengan total 218 judul riset. (Tempo/Annisa Febiola)
BRIN: Pangan Jadi Salah Satu Prioritas Riset 2023, Kejar Target Hilirisasi

Dominasi riset bidang pangan sejalan dengan prioritas yang diminta oleh Presiden Joko Widodo.


Ratih Kumala Ceritakan Proses Kreatif Penulisan Gadis Kretek

18 Desember 2023

Penulis buku Gadis Kretek, Ratih Kumala memegang buku saat hadir dalam diskusi  Biennale Jatim di Rumah Budaya, Sidoarjo, pada Sabtu 16 Desember 2023. TEMPO/ Yolanda Agne
Ratih Kumala Ceritakan Proses Kreatif Penulisan Gadis Kretek

Penulis novel Gadis Kretek Ratih Kumala menceritakan proses kreatif. Mengapa ia akhirnya menjadi seorang kolektor bungkus kretek.


BRIN Akan Tetapkan Regulasi Penggunaan AI di Industri Riset

11 Desember 2023

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko saat menyampaikan kata sambutan di kegiatan Kick Off Peran Valuator Kekayaan Intelektual dalam Pemanfaatan Hasil Riset dan Inovasi di Jakarta, Senin, 11 Desember 2023. (Tempo/Alif Ilham Fajriadi)
BRIN Akan Tetapkan Regulasi Penggunaan AI di Industri Riset

Hingga kini belum ada regulasi yang jelas mengatur terkait penggunaan AI tersebut.