Suku dayak menanam umbi-umbian, ketela pohon, buah-buahan, dan tanaman kayu di pedalaman atau hutan. Keturunan suku dayak kemudian menerapkan cara itu dengan menanami lahannya untuk pengobatan dan sayur di pekarangan rumah.
Mereka mengenal tembawang, yakni lahan bekas permukiman yang ditanami buah-buahan, sayuran,dan umbi-umbian. Tembawang dimiliki komunitas adat. Ada juga dahas, yakni bekas ladang yang sudah ditinggalkan dan ditanami karet, belian, meranti. "Perkebunan kelapa sawit tak cocok dengan pola hidup Dayak yang ada sejak zaman nenek moyang," kata dia.
Sayangnya, perkebunan sawit dan tambang menjadi ancaman serius karena menggusur pola hidup yang menjaga kelestarian hutan itu. Perkebunan sawit membabat habis hutan Kalimantan. Perkebunan sawit di Dayak, kata dia telah muncul sejak 1970-an di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Dia mencatat di Kalimantan Barat terdapat 12,4 juta hektare lahan konsesi perusahaan sawit. Dari angka itu, sebanyak lima juta hektare merupakan perkebunan kelapa sawit yang dikuasai sebuah perusahaan.
Baca juga: Upah Buruh Perkebunan Sawit
Dampak lain dari perkebunan kelapa sawit adalah penggunaan pestisida. Pupuk kimia itu terbawa angin dan menyebabkan penyakit kulit, gatal, dan gangguan pernafasan. Belum lagi dampak lainnya adalah ekploitasi tenaga kerja.
Kementerian Pertanian menyebutkan total luas lahan perkebunan kelapa sawit hingga saat ini mencapai 14 juta hektare. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia bersama Malaysia. Mereka menguasai 85 persen produksi minyak kelapa sawit dunia.
Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan moratorium sawit. Aturan itu ada dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Moratorium ini tujuannya menghentikan izin pembukaan lahan sawit baru untuk tiga tahun ke depan.
Baca juga: Pesawat Jatuh di Lahan Sawit Kalbar Saat Sedang Menyiram Pupuk
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno, mengatakan perkebunan sawit tidak menghasilkan keanekaragaman hayati atau zero biodiversity. Moratorium sawit membatasi atau menginstirahatkan ekspansi sawit. Tapi, untuk perusahaan sawit yang sudah berjalan tetap beroperasi.
Moratorium, kata dia dijalankan untuk melihat dampak lingkungan, sosial, dan budaya. Misalnya penduduk di sekitar lahan sawit bisa berpindah karena tak cocok dengan tanaman itu. "Tidak semua tempat cocok ditanami sawit. Ke depan Kementerian Pertanian harus punya pemetaan lahan yang baik," kata dia.
Menurut Wiratno, selain berdampak pada biodiversitas, perkebunan kelapa sawit juga berdampak kehidupan pada satwa liar, yakni orang utan. Dia menyebutkan di Kalimantan Tengah telah ada forum koordinasi penyelamatan orang utan. Dia meminta masyarakat aktif melapor bila menemukan orang utan yang terdampak karena perkebunan kelapa sawit.
Baca juga: Selamat Datang Moratorium Sawit!
Simak artikel menarik lainnya seputar sawit yang menghancurkan biodiversitas Dayak hanya di kanal Tekno Tempo.co.