TEMPO.CO, Dumai - Badan Restorasi Gambut (BRG) menggandeng ilmuwan untuk mengembangkan teknologi untuk memperkirakan kelembaban lahan gambut dengan citra satelit.
Kepala BRG Nazir Foead menyatakan bahwa BRG bekerja dengan beberapa lembaga, seperti LAPAN, BIG, ITB, IPB dan UGM untuk membantu mencari tahu kelembaban gambut melalui citra satelit.
"Kami juga dibantu Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Resources Institute (WRI). Kalau itu sudah bisa, semuanya akan menjadi lebih mudah memetakan kelembaban tanah," ujar Nazir di Kota Dumai, Kepulauan Riau, Rabu, 9 Oktober 2019.
BRG memiliki tugas untuk melakuian restorasi gambut seluas 2,67 juta hektare berdasarkan Surat Keputusan Kepala BRG Nomor SK.16/BRG/KPTS/2018 tentang Penetapan Peta Indikatif Restorasi Gambut di 7 provinsi prioritas.
Ketujuh provinsi adalah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Namun, Nazir melanjutkan, citra radar satelit tersebut hanya bisa memperkirakan kelembapan tanah, sehingga harus dikawinkan dengan mesin hybrid. Hasilnya, kata dia, di satu zona air misalnya terlihat merah artinya kondisi kering.
Menurutnya, nanti akan dibentuk tim untuk melakukan analisis, dan dikawinkan dengan alat-alat yang ada. "Jadi hasilnya tidak bisa bohong. Gubernur, menteri, dan presiden bisa melihat tiap pagi bangun semua biru aman, soalnya datanya real time," kata Nazir.
Menurut Nazir, pemantauan dengan menggunakan citra satelit akan lebih mudah dibandingkan dengan memasang alat di lokasi gambut. Karena dengan citra radar juga pemantauan lahan gambut akan lebih efisien dan jumlah alat yang dipasang berkurang.
"Gambutnya jutaan hektare, memang kalau sudah dipasang enak, tapi untuk menyuruh orang yang memasang itu kan butuh waktu dan dana, belum kalau rusak," tutur Nazir. "Kalau ini berhasil, Indonesia bisa menjadi pionir untuk pemantau lahan gambut dengan satelit, dan bisa menjadi contoh untuk negara lain," ujar Nazir