TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menyarankan konsumsi obat malaria, Chloroquine, untuk kasus COVID-19 hanya dilakukan dalam uji klinis dari WHO. Indonesia termasuk di antara kumpulan besar negara-negara di dunia yang terlibat dalam uji bernama Solidarity Trial itu.
Ari menanggapi perkembangan di sejumlah negara yang mendapati efek samping serius dari pengobatan COVID-19 menggunakan Chloroquine dan Hydroxychloroquine. Bahkan di Brasil, uji klinis denan dua macam obat itu telah dihentikan sebelum waktunya setelah beberap pasien meninggal karena komplikasi jantung.
Itu sebabnya, Ari merekomendasikan penggunaan obat malaria, juga lupus dan rheumatoid arthritis itu, di Indonesia dibatasi dan diawasi. Sekalipun sudah banyak digunakan sejak COVID-19 mewabah di Cina, menurutnya, terapi untuk pasien akan lebih baik dilakukan dalam bentuk design research.
"(Rekomendasi saya) ya masuk multi-centre research solidarity dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di bawah koordinasi Litbangkes,” ujar dia melalui pesan pendek, Senin 27 April 2020.
Ari yang juga dokter spesialis penyakit dalam itu telah sejak awal memperingatkan bahwa obat malaria Chloroquine phosphate tergolong obat keras. Dia berharap masyarakat tidak panik karena wabah virus corona COVID-19 sehingga memicu pembelian bebas obat itu dari apotek-apotek.
"Jika salah menyimpannya bisa menjadi racun, dan jika penggunaannya salah bisa merusak ginjal dan liver,” kata Ari saat dihubungi, 20 Maret 2020.
Sebelumnya, penelitian sekaligus uji klinis di Brasil tentang kemampuan obat anti malaria Chloroquine untuk memerangi virus corona COVID-19 dihentikan sebelum waktunya. Keputusan itu diambil setelah beberapa pasien mengalami komplikasi jantung yang berpotensi fatal.
Dalam uji klinis itu, peneliti memberikan chloroquine kepada 81 pasien COVID-19 untuk menentukan efektivitasnya melawan virus yang menginfeksi mereka. Temuan awal menunjukkan bahwa dosis (chloroquine) tinggi tidak direkomendasikan untuk pengobatan COVID-19.
Sekitar setengah dari pasien dalam penelitian itu diberi chloroquine dosis 50 mg sebanyak dua kali sehari selama lima hari. Peserta lain diberi dosis tunggal 600 miligram setiap hari selama 10 hari.
Namun, dalam tiga hari, beberapa pasien yang menggunakan dosis tinggi mengalami aritmia, atau detak jantung tidak teratur. Pada hari keenam, 11 pasien meninggal, meskipun tidak jelas apakah itu akibat virus corona atau komplikasi yang terkait dengan chloroquine.
Belakangan peringatan akan efek samping chloroquine dikeluarkan di Amerika Serikat meski presidennya sebelumnya telah mempromosikan penggunaannya. Badan Pengawas Obat Uni Eropa (EMA) bahkan melarang rumah sakit menggunakan chloroquine dan hydroxychloroquine untuk mengobati pasien COVID-19.
EMA menganjurkan obat tersebut sebaiknya digunakan hanya untuk kondisi darurat. Itupun disertai pengawasan ketat kondisi pasien. Badan pengawas itu juga mengingatkan tenaga kesehatan agar terus memantau keadaan pasien yang mengonsumsi obat itu bersamaan dengan obat lain.
Terbaru, Pemerintah Kanada menerbitkan anjuran kepada publiknya agar tidak menggunakan chloroquine secara bebas karena kekhawatiran akan efek samping yang sama. Anjuran diterbitkan kementerian kesehatan di negara itu 25 April lalu.