TEMPO.CO, Jakarta - Michigan, Amerika Serikat, awal Maret lalu. Seorang perempuan berusia 71 tahun yang baru saja kembali dari wisata kapal pesiar di Sungai Nil mendatangi rumah sakit dengan keluhan diare yang berdarah, muntah, dan sakit perut.
Dokter awalnya menduga perempuan itu terjangkit kuman yang menginfeksi lambungnya semacam virus Salmonella yang kasusnya umum ditemui. Pada perkembangannya, perempuan itu juga mengalami batuk-batuk. Dokter pun mengambil sampel apus atau swab darinya. Hasilnya, si pasien positif juga akan infeksi virus corona asing yang belakangan dinamakan SARS-CoV-2.
Dalam makalah yang diunggah secara online di The American Journal of Gastroenterology (AJG), pada April lalu, positif virus yang sama pada sampel feses, seperti halnya pengamatan pada luka di usus, menunjukkan adanya infeksi saluran pencernaan.
Kasus perempuan itu menambah kepada bukti yang semakin berkembang kalau virus corona baru itu, seperti halnya SARS, bisa menginfeksi hingga ke saluran pencernaan bawah. Di bagian itu memang banyak mengandung protein ACE2 yang dikenal sebagai reseptor virus corona.
Virus itu ditemukan pada lima persen sampel feses pasien Covid-19. Dalam penelitian oleh tim di Cina, cangkang proteinnya ditemukan bertebaran di sel lambung, usus halus, dan anus si pasien. “Saya menduga , selain di paru-paru, virus bereplikasi pula di saluran pecernaan,” kata Mary Estes, pakar virologi di Baylor College of Medicine, Amerika Serikat.
Laporan dari berbagai studi yang dibuat kemudian menyatakan jumlah pasien Covid-19 yang mengalami diare bisa hampir 50 persen, atau rata-rata 20 persen. Brennan Spiegel dari Cedars-Sinai Medical Center, Los Angeles, Amerika Serikat, mengatakan kalau sebelumnya infeksi saluran pencernaan tak masuk daftar gejala Covid-19 yang ditetapkan CDC (otoritas pengendalian dan penanggulangan penyakit menular di Amerika Serikat). Itu yang membuat beberapa kasus, menurutnya, tak terdeteksi.
Keberadaan virus di saluran pencernaan menguatkan kemungkinan virus corona bisa ditularkan lewat feses. Tapi belum jelas apakah sampel feses memiliki virus yang utuh atau hanya RNA dan protein. “Sampai hari ini kami belum memilki bukti bahwa penularan lewat feses adalah oenting,” kata Steve Perlman dari University of Iowa, Amerika Serikat, seperti dikutip dari science magazine, akhir April lalu.
CDC juga mengatakan bahwa berdasarkan wabah SARS dan MERS, risiko penyebaran lewat feses juga diduga rendah.