TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Covid-19 buatan Rusia, Sputnik V, disebut dapat menghasilkan antibodi penetral 1,4 hingga 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan antibodi yang dihasilkan pasien sembuh dari penyakit infeksi SARS-CoV-2 itu. Sebanyak 100 persen relawannya dalam uji klinis tahap satu dan dua memperlihatkan respons imunitas.
Pengembang Sputnik V, Institut Gamaleya, Kementerian Kesehatan Rusia, mengungkap itu dalam pemaparan kepada media secara virtual pada Jumat malam, 4 September 2020, waktu Jakarta. Mereka menyebut hasil uji klinis tahap I dan II yang dipaparkan telah dipublikasikan di jurnal medis The Lancet.
"Dalam riset imunogenisitas (kemampuan zat asing memicu respons imun) vaksin ini, kami berhasil menunjukkan bahwa 100% relawan memperlihatkan respons imunitas humoral dan selular," kata peneliti Gamaleya, Irina Dolzhikova.
Ia menjelaskan bahwa hasil uji klinis tersebut juga menunjukkan tidak adanya efek serius yang terjadi. Adapun yang timbul kebanyakan ringan atau sedang, dan muncul karena nyeri suntikan, hipotermia, sakit kepala, atau nyeri otot.
Dibandingkan kandidat vaksin lain yang disebutnya menghasilkan level efek ketidakcocokan serius sebesar 1-5 persen, uji klinis Sputnik V dinyatakan tidak ada satupun efek ketidakcocokan serius yang tercatat. "Kami juga mampu menghasilkan respons sel T, dan dengan begitu kami bisa menyatakan bahwa vaksin memungkinkan pembentukan respons imun secara penuh. Sehingga dapat disebut bahwa vaksin ini aman," kata Dolzhikova menuturkan.
Sputnik V adalah vaksin Covid-19 pertama di dunia yang mendapat pengesahan dari pemerintah sebuah negara. Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan hal itu pada 11 Agustus, setelah uji klinis dijalankan hanya dalam waktu kurang dari dua bulan.
Baca juga:
'Main-main' Berbahaya Pilot Pesawat Tempur Rusia atas Amerika
Sejumlah pihak sempat meragukan vaksin buatan Rusia itu. Mereka cemas dengan Rusia yang dinilai terlalu terburu-buru memberikan persetujuan itu sementara uji klinis tahap tiga saat itu belum dilakukan, serta tidak ada data riset yang dipublikasikan ketika itu.
Direktur Institut Gamaleya Alexander Gintsburg beralasan publikasi data penelitian usai uji klinis tahap I dan II baru dilakukan karena mengikuti aturan yang berlaku di Rusia. "Menurut peraturan Rusia, mempublikasikan laporan (penelitian uji klinis) di jurnal internasional dianggap etis hanya jika produk (hasil penelitian) telah terdaftar di negara ini," kata Gintsburg.