Studi yang juga mengikutsertakan Frans Van de Werf, penulis tamu dari Department of Cardiovascular Sciences, KU Leuven, Belgia, ini menyebutkan, sekitar 30 persen pasien IMA-EST datang dengan onset keluhan 7-12 jam. "Pada pasien kelompok onset lanjut ini, sebaiknya segera dilakukan terapi fibrinolitik ketika masih berada di rumah sakit asal dengan onset gejala lebih dini," kata Surya.
Sama seperti kateterisasi, terapi fibrinolitik ini juga bertujuan untuk mengembalikan aliran darah pada pembuluh darah yang tersumbat. Namun, jika kateterisasi merupakan terapi pembukaan sumbatan pembuluh darah koroner mekanik, fibrinolitik termasuk terapi dengan menggunakan obat.
"Terapi fibrinolitik umumnya digunakan di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas kateterisasi sebelum akhirnya pasien dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas tersebut," kata lulusan dokter dari Universitas Sumatera Utara itu.
Menurut studi, ada beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penggunaan dan kualitas terapi pembukaan sumbatan pembuluh darah koroner pada rumah sakit tanpa fasilitas kateterisasi jantung. Upaya tersebut antara lain mengedukasi pada dokter jaga dan perawat yang bekerja di IGD agar mampu melakukan terapi fibrinolitik, serta mempercepat waktu door-in to door-out (waktu yang dihabiskan pasien selama berada di rumah sakit asal) sehingga periode iskemik total dapat diminimalkan.
Mengingat luaran klinis pasien IMA-EST sangat dipengaruhi oleh waktu, Surya mengingatkan, program kampanye kepada publik mengenai tanda dan gejala serangan jantung akut, serta sosialisasi nomor kegawatdaruratan medik (119) harus dilakukan sebagai bagian dari program sistem jejaring IMA-EST. Itu semua memungkinkan pasien untuk mendapat pertolongan medis sesegera mungkin.
Baca juga:
6 Dosen Ekonomi Positif Covid-19 di Universitas Ini, Satu Meninggal