“Kami memulai langkah-langkah strategis kami sebagai orang muda masyarakat adat dengan kerja-kerja pengarsipan, pendokumentasian, semangat revitalisasi kampung atau desa,” katanya.
Kegiatan itu dinamainya ekosistem warga aktif (active citizen) dengan model kewirausahaan. Pengalaman Dicky sebagai sastrawan, penulis, dan penggiat komunitas kesenian memuluskannya mengajak warga melalui kegiatan seni-budaya. “Ternyata dengan memakai medium seni-budaya sangat efektif masuk ke dalam gerakan berbasis masyarakat,” ujarnya.
Dicky dan Lakoat.Kujawas aktif menggali dan mengaktualkan pangan lokal. Selain itu juga melakukan kegiatan literasi, budaya, dan ekowisata. Dicky pernah terpilih sebagai salah satu tokoh muda “Drivers to Change” dan mengikuti pembelejaran kewirausahaan sosial di Inggris yang difasilitasi British Council.
Charles Toto adalah pemuda Papua yang terkenal sebagai perawat kuliner Papua. Pendiri 'Papua Jungle Chef Community (PJCC)' ini berkeliling ke pedalaman Papua dan hutan belantaranya untuk mengeksplorasi kuliner tradisional. Tujuannya agar kuliner Papua tidak punah dan bisa mendunia.
“Pekerjaan saya adalah tukang masakan yang mengumpulkan resep-resep tradisional Papua, mulai dari wilayah selatan Papua hingga utara Papua,” kata Charles Toto yang terkenal dengan panggilan Chato.
Chato mengisahkan kegiatan yang dimulainya sejak 1997. Waktu itu ia mendapat kesempatan membantu sebuah agen perjalanan melakukan trip mengantar turis asing berkeliling wilayah Papua. Mereka melihat budaya, alam, dan mengekplorasinya untuk penelitian.
Charles Toto, pemuda asal Papua ini terkenal sebagai perawat kuliner Papua yang kerap berkeliling ke pedalaman Papua dan hutan belantaranya untuk mengeksplorasi kuliner tradisional. Tujuannya agar pangan lokal Papua tidak punah dan bisa mendunia. DOK. SAMDHANA INSTITUTE
“Di wilayah selatan Papua kami mengumpulkan dari Merauke, paling ujung wilayah Indonesia, terus ke wilayah Sorong dan Raja Ampat, kegiatan kami mendata resep-resep tradisional, baik di daerah pegunungan maupun rawa sampai di daerah pesisir pantai,” katanya.
Dari kegiatan tersebut Chato menyadari masih banyak resep tradisional Papua yang perlu diangkat. Terbukti selama ini orang Indonesia hanya mengenal kuliner khas Papua adalah papeda dan ikan kuah kuning. Padahal, menurut Chato, kedua makanan itu adalah degradasi masakan Papua yang dipengaruhi masakan Sulawesi dan Maluku.
Dengan pengetahuan kuliner yang dimilikinya, Chato bisa membawa cita rasa Papua ke mana-mana. Di antaranya ke Festival Slow Cooking Terramadre di Torino, Italia.