TEMPO.CO, Bandung - Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Sinovac dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Kusnandi Rusmil mengungkap beberapa reaksi vaksinasi yang telah dilakukan.
Potensi reaksinya ada yang berasal dari vaksin, kepekaan terhadap unsur vaksin, juga bukan efek langsung dari vaksin. Reaksi vaksin termasuk dalam klasifikasi lapangan yang dipakai dalam pencatatan dan pelaporan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).
Baca:
Tim Riset Unpad Kirim Laporan 20 Halaman Uji Vaksin Sinovac
Menurut Kusnandi, klasifikasi lain yaitu kesalahan pelaksanaan atau prosedur imunisasi, reaksi suntikan, dan kejadian kebetulan. Adapun reaksi vaksinasi yang berpotensi dari vaksin, seperti efek farmakologi, efek samping, interaksi obat, intoleransi, dan reaksi idiosinkrasi atau abnormal.
Sementara reaksi vaksin terkait kepekaan tubuh terhadap unsur vaksin, bisa dari faktor genetik, dan reaksi alergi terhadap protein telur, antibiotik, bahan preservative, dan unsur lain. Adapun reaksi vaksin yang tidak langsung berasal dari kesalahan teknik pembuatan, pengadaan, distribusi, dan penyimpanan vaksin, serta kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan vaksinasi.
“Reaksi vaksin kemungkinan biasanya reaksi alergi terhadap zatnya,” kata Kusnandi dalam acara webinar tentang pengetahuan vaksin Covid-19 bagi tenaga kesehatan yang digelar Ikatan Alumni Universitas Padjadjaran, Sabtu, 9 Januari 2020.
Sebelumnya Juru Bicara Vaksin Covid-19 PT Bio Farma Bambang Herianto mengatakan vaksin Sinovac mengandung virus yang sudah dimatikan. Kandungan lainnya dalam cairan vaksin itu adalah alumunium hidroksida untuk meningkatkan kemampuan vaksin, juga larutan fosfat, dan larutan garam atau natrium klorida (NaCL).
Saat konferensi pers virtual, Ahad 3 Januari 2021, Bambang juga mengatakan vaksin Sinovac tidak menggunakan pengawet, atau merkuri. Pemerintah berencana menggelar imunisasi massal menggunakan vaksin Sinovac untuk menangkal Covid-19 mulai 13 Januari 2021. Selain Presiden Joko Widodo yang akan disuntik pertama, vaksinasi diprioritaskan bagi kalangan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Kusnandi sebelumnya mengungkapkan, sekitar 20 persen relawan yang diimunisasi mengalami demam. Panas tubuhnya ada yang demam hingga lebih dari 37,5 derajat Celsius, tapi kemudian mereda dalam dua hari. “Hilang sendiri tapi pas demam ada juga yang minum parasetamol,” katanya Jumat.
Menurut Kusnandi, dampak itu seperti imunisasi umumnya pada anak-anak. Sakit panas diberi obat parasetamol. Kemudian relawan yang nyeri dan bengkak di tempat suntikan, sembuh dalam 1-2 hari. “Terjadi baik pada suntikan pertama dan kedua yang jaraknya dua minggu,” ujarnya.
Dampak sakit seperti itu, Kusnandi mengatakan, biasanya individual. Sejauh ini dari hasil data yang diperoleh tim, keamanan vaksin dikatakan aman. “Karena tidak terjadi hal-hal yang merugikan daripada subjek lebih daripada demam itu.”
ANWAR SISWADI