TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut curah hujan sejumlah 2,08 miliar meter kubik sepanjang pekan kedua Januari 2021 di Kalimantan Selatan. Volume air hujan yang turun dari langit itu tak sebanding dengan kapasitas Daerah Aliran Sungai Barito yang dalam kondisi normal terukur sebesar 23 juta meter kubik. Banjir besar pun tercipta.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Karliansyah, mengungkapnya Selasa 19 Januari 2021. Menurutnya, air yang tidak tertampung itulah yang meluap dan menggenangi pemukiman penduduk di 10 kabupaten dan kota di provinsi tertua di tenggara Pulau Kalimantan tersebut.
"Selama anomali cuaca ini curah hujan di Kalimantan Selatan menjadi 8-9 kali lebih banyak dibandingkan hari-hari hujan biasa di bulan Januari," katanya sambil menambahkan curah hujan harian 9-13 Januari lalu mencapai 461 mm--melampaui curah hujan sebulan pada Januari 2020 di Kalimantan Selatan yang sebesar 394 mm.
Data rincinya adalah, di Kabupaten Tanah Laut debit sungai 645,56 meter kubik per detik sementara kapasitas atau daya tampung Sungai Pelaihari hanya 410,73 meter kubik per detik. Di Kabupaten Banjar debit sungai juga terukur 211,59 meter kubik per detik sementara kapasitas Sungai Martapura 47,99 meter kubik per detik.
Di Kabupaten Hulu Sungai Tengah tercatat debit Sungai Amandit mencapai 333,79 meter kubik per detik padahal kapasitasnya 93,42 m kubik per detik. Seluruh sungai itu bermuara di Sungai Barito, sungai sepanjang lebih dari 800 kilometer yang membentang dari hulunya di Pegunungan Muller di Kalimantan Tengah bagian utara hingga muaranya di Laut Jawa dekat Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan.
Ada juga Sungai Negara yang sejajar dengan Sungai Barito, berhulu di rawa-rawa besar Hulu Sungai Utara, lalu memuntahkan airnya di Sungai Barito di Kota Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Selama hujan lima hari pekan lalu tersebut, sungai-sungai ini dipenuhi air melebihi daya tampungnya hingga akhirnya air menggenangi jalanan dan pemukiman masyarakat.
Di luar faktor anomali cuaca, Karliansyah mengakui DAS Barito tak lagi memiliki infrastruktur ekologis yang memadai dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut, menurut dia, membuat daerah yang dimaksud tidak mampu lagi menampung curah hujan atau aliran air yang datang.
Warga menggendong anaknya melintasi banjir di Desa Kampung Melayu, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat 15 Januari 2021. Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor menyatakan peningkatan status siaga darurat menjadi tanggap darurat, keputusan itu diambil mengingat musibah banjir yang terjadi semakin meluas di beberapa daerah di Provinsi Kalimantan Selatan. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
DAS Barito di Kalimantan Selatan disebutnya melingkupi wilayah seluas 1,8 juta hektare. Data KLHK per 2019 memperlihatkan bahwa luasan hutan di area itu tersisa 18,2 persen.Selebihnya adalah pertanian lahan kering sebesar 21,4 persen, sawah 17,8 persen, dan perkebunan sebesar 13 persen.
Selain itu, KLHK juga mencatat penurunan luas hutan alam sejak 1990 sampai dengan 2019 sebesar 62,8 persen, dengan penurunan terbesar terjadi pada periode 1990 sampai 2000. Luas hutan pada 1990 di daerah itu adalah 803.104 hektare, pada 2019 tinggal 333.149 hektare.
Baca juga:
Ini Sebab Banjir Besar Awal Tahun Pindah dari Jakarta ke Kalsel
Gantinya, luas kawasan nonhutan yang pada 1990 tercatat 1.025.542 hektare tumbuh menjadi 1.495.497 hektare pada 2019. "Lokasi banjir berada di sepanjang alur Daerah Aliran Sungai Barito di mana memang dari evaluasi yang ada kondisi infrastruktur ekologisnya yaitu jasa lingkungan pengatur air, sudah tidak memadai," kata Karliansyah.