TEMPO.CO, Jakarta - Puasa Ramadan diperkirakan akan dimulai pada Selasa, 13 April 2021. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrian Syam membeberkan manfaat aktivitas berpuasa.
Dalam acara virtual Diskusi Awam dan Media bertajuk 'Tips Sehat Puasa ala Guru Besar FKUI', Ari menjelaskan, di Indonesia puasa dilakukan rata-rata antara pukul 04.30 WIB sampai dengan 18.00 WIB. “Kurang lebih 14 jam lambung kita tidak terisi makanan dan minuman,” ujar dia, Senin, 12 April 2021.
Menurut guru besar ilmu panyakit dalam itu, ada yang menyebut puasa sebagai prolonges intermittent fasting. Secara umum, kata dia, biasanya puasa itu tidak melakukan makan dan minum selama periode tertentu.
“Hanya makan dua kali, yaitu di waktu pagi atau Subuh dan sore atau Maghrib,” tutur Ari menambahkan.
Aktivitas puasa mempengaruhi lemak darah, dan ketika berbuka jangan sampai balas dendam karena selama berjam-jam tidak makan. Diperbolehkan makan dan minum saat berbuka, Ari berujar, tapi tidak boleh berlebihan.
Berdasarkan riset yang sudah beredar, Ari menjelaskan, ketika melakukan puasa lemak jahat atau kadar kolesterol jahat (LDL) dalam darah menurun. Namun, di satu sisi kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah, tipe protein yang tidak membawa lemak, meningkat.
“Ini hal positif untuk pencegahan kardiovaskular, termasuk yang diteliti oleh tim penelitian dari Turki dan beberapa negara lainnya menyatakan dampaknya positif,” tutur Ari.
Ari dan beberapa koleganya juga telah melakukan riset beberapa tahun lalu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Subjeknya adalah para dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), perawat, dan ahli gizi.
Menurut Ari, penelitian itu dilakukan untuk mengetahui bagaimana komposisi tubuh saat berpuasa. Hasilnya, benar mendukung beberapa penelitian yang sudah dilakukan, yaitu terjadi massa lemak turun yang merupakan hal positif.
“Puasa akan terjadi penghancuran lemak. Lemak saja yang hancur, selama 14 jam tidak akan mempengaruhi daya tahan tubuh. Karena lemaknya saja yang dihancurkan bukan proteinnya,” katanya.
Peraih gelar master bidang biologi molekuler di University of Queenslad, Australia, itu juga menerangkan, berpuasa bisa mempengaruhi kondisi lemak pada tubuh yang berubah, tapi protein tidak. “Menariknya setelah 8 hari tidak berpuasa, kita periksa lagi subjek ini ternyata balik lagi setelah Lebaran fatnya seperti sedia kala,” ujar Ari.
Riset lainnya, kata Ari, juga menunjukkan bahwa ternyata selama Ramadan terjadi penurunan skor dari GERD—penyakit pencernaan asam lambung atau empedu yang mengiritasi lapisan dalam saluran makanan. “Saya perhatikan juga selama Ramadan pasien GERD turun, terjadi perbedaan signifikan dibandingkan saat tidak berpuasa,” kata dia.
Alasannya, orang berpuasa lebih sehat lambungnya adalah karena makan yang teratur. Menurut Ari, orang sakit maag itu dasarnya adalah karena tidak teratur makan, sementara orang puasa pasti makannya teratur.
“Pada saat puasa, biasanya mengendalikan makannya berbeda dengan saat tidak berpuasa. Termasuk merokok yang berkurang saat puasa.”
Sementara aktivitas ibadah juga menjadi lebih banyak yang memberikan ketenangan, sehingga asam lambung turun. Jika gelisah atau ketakutan, bisa meningkat asam lambungnya, dan itu ada penjelasannya. “Sehingga buat orang yang sakit lambung bisa sembuh pada saat puasa Ramadan ini karena makan teratur,” tutur dia menambahkan.
Baca:
Kementerian Riset dan Teknologi Dilebur, Begini Tanggapan Dekan FKUI