Terapi gen terbaru terbukti berhasil pada si pria dalam uji oleh GenSight. Dia menemukan dirinya setelah sekitar setahun bisa melihat zebra cross di jalan. Sejak itu, dia telah mampu melihat obyek seperti telepon, furnitur, atau pintu dalam sebuah koridor.
Di laboratorium, pria itu juga mampu menghitung dan mengetahui lokasi obyek-obyek yang ada di hadapannya--meski belum bisa mengenali wajah-wajah. "Penglihatannya mungkin akan bisa lebih baik lagi karena butuh waktu untuk otak belajar memproses sinyal tak biasa dari mata," kata Sahel.
Menurutnya, apa yang terjadi kemungkinan adalah remodelling konektivitas atau bahasa baru antara retina dan otak. Sayang, riset penyesuaian goggle oleh penggunanya di laboratorium masih terhenti karena pandemi Covid-19.
Sebanyak dua orang di Inggris juga telah diinjeksi gen yang sama tapi belum memasuki terapi atau latihan, dan karenanya belum merasakan efek berbeda dalam penglihatannya. "Sebanyak empat orang juga belum lama ini diberikan dosis gen yang lebih tinggi, yang kami harapkan akan memberi benefit yang lebih besar," kata Sahel.
Pada tahap perkembangan yang sekarang, terapi optogenetik diperkirakan belum akan mampu memberi pemulihan penglihatan untuk bisa digunakan membaca atau mengenali wajah-wajah. "Untuk bisa seperti itu Anda perlu resolusi yang tinggi," kata Botond Roska dari Institute of Molecular and Clinical Ophthalmology di Basel, Swiss, juga anggota tim.
Sebuah perusahaan di Amerika Serikat, Bionic Sight, melaporkan pada Maret lalu kalau empat orang yang telah mengalami kebutaan atau hampir buta sudah bisa melihat cahaya dan gerak obyek di hadapannya juga berkat terapi optogenetik. Bedanya dengan GenSight, tim ini belum mempublikasikan keberhasilannya itu dalam jurnal ilmiah.
Perlakuan oleh Bionic Sight menggunakan gen berbeda dari GenSight, tapi sama membutuhkan goggle. Dalam pengumumannya, Bionic Sight menyatakan dua orang yang menerima dosis gen lebih besar memiliki sensitivitas terhadap cahaya lebih tinggi daripada dua lainnya.
"Perbaikan sedikit saja dalam penglihatan akan berdampak besar bagi seseorang yang hampir buta," kata Michel Michaelides dari University College London, yang mengembangkan terapi gen berbeda untuk kebutaan. Tapi, menurutnya, sulit untuk mengembalikan penglihatan secara penuh pada orang-orang dengan kondisi retina rusak. "Tantangannya masih sangat besar," kata dia.
Situasi itu diakui Sahel dkk. Namun, mereka beranggapan publikasi yang sudah dilakukan, buah dari riset 13 tahun GenSight, adalah proof of concept akan datangnya pengobatan yang lebih efektif.
Pernyataan itu diamini oleh Ehud Isacoff, seorang ahli saraf di University of California, Berkeley, yang tidak terlibat dalam tim-tim terapi optogenetik tersebut. "Menyaksikan untuk pertama kalinya terapi ini bisa menyembuhkan kebutaan--bahkan hanya pada satu pasien dan pada satu mata--benar-benar menarik," katanya.
NEW SCIENTIST | NYTIMES
Baca juga:
WHO Ganti Nama Varian Virus Covid-19 Pakai Alfabet Yunani