TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa peneliti menjelaskan ancaman tenggelam di Jakarta dan wilayah Pantai Utara Jawa disebabkan karena naiknya muka air laut (sea level rise) dan penurunan muka tanah (land subsidence). Untuk kenaikan muka air laut kemungkinan tidak bisa dicegah karena berkaitan dengan emisi CO2 yang ada saat ini, sementara penurunan muka tanah disebabkan oleh beberapa kondisi.
Profesor Riset bidang Geoteknologi-Hidrologi Air Tanah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Robert Delinom, mengatakan amblesan tanah di Jakarta disebabkan empat faktor yaitu kompaksi batuan (endapan batuan lempung), pengambilan air tanah secara berlebihan, beban bangunan dan aktivitas tektonik.
“Di Jakarta, amblesan tanah menjadi faktor utama karena kompaksi batuan, di sana batuannya masih sangat muda,” ujar dia dalam acara virtual Prof Talk bertajuk ‘Benarkan Jakarta dan Pantura akan Tenggelam?’, Rabu, 6 Oktober 2021.
Namun, penurunan tanah di wilayah Jakarta tidak semuanya besar, karena kondisi geologi yang tidak sama, sehingga penurunannya tidak homogen. Ada catatan menarik, kata pria lulusan master di Twente Universuty, Belanda itu, di Jalan Tongkol dekat Sunda Kelapa, secara umum penurunan tanahnya hanya 0,8 cm per tahun yang tidak terlalu tinggi.
Berdasarkan pengamatan Delinom, batuan lempung berperan penting dalam penurunan muka tanah dan banyak ditemui di Jakarta serta di beberapa wilayah, seperti Indramayu, Semarang, dan Surabaya. Dia juga mencatat bahwa di Semarang penurunan muka tanahnya lebih cepat karena batuan lempungnya lebih lebar, khususnya wilayah Simpang Lima yang rawan.
“Tapi endapan lumpung itu ada batasnya, jadi dia akan berhenti suatu saat, itu kita bisa hitung, dan cukup lama. Kisarannya 1.000 tahun akan berhenti, dan tidak akan ada lagi penurunannya,” tutur Delinom.
Solusi untuk mencegah tenggelamnya Jakarta dalam periode jangka pendek, Delinom menambahkan, adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar memahami masalahnya. Sedang jangka panjang dengan melakukan integrasi secara tuntas terkait penyelesaian masalahnya.
“Yaitu dengan kombinasi konsep mitigasi dan adaptasi yang tidak tumpang tindih, zero run off dan no land subsidence city, serta mengubah pola pikir masyarakat,” ujar Delinom.
Selain itu, Delinom juga menyarankan perlunya upaya mitigasi dengan melakukan pembangunan ‘pertahanan’ di garis pantai, pembangunan ‘pertahanan’ di sungai dan bantarannya, serta membuat ‘tempat parkir’ air dan mengantisipasi penyebab penurunan tanah.
Baca:
Jakarta Terancam Tenggelam, Profesor BRIN Sebut Faktor Lokal