TEMPO.CO, Jakarta - Exit International, sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di Winnellie, Australia, mendesain apa yang disebut kapsul bunuh diri Sarco, kependekan dari sarkofagus. Lembaga ini meng-advokasi legalisasi baik eutanasia sukarela maupun bunuh diri dengan bantuan (biasanya dibantu dokter).
Belum lama ini kapsul Sarco mengantongi lampu hijau dari badan kajian medis Swiss untuk digunakan di negara itu. “Dia memiliki penampilan yang futuristik seperti sebuah wahana yang akan membawa kita berpetualang ke suatu tempat,” kata Philip Nitschke, pendiri Exit International, pada awal Desember 2021. Dia menambahkan, “Kapsul ini menambahkan sensasi selebrasi dan perayaan kepada kematian seseorang.”
Kapsul bunuh diri Sarco bekerja seperti ini: ketika orang di dalamnya menekan tombol ‘teleportasi kematian’, sebuah kaleng berisi nitrogen cair yang tersembunyi di dasar kapsul akan membanjiri seisi kapsul itu dengan gas nitrogen, menyebabkan level oksigen drop hingga kurang dari lima persen dalam semenit.
Berbeda dari cara kerja kamar gas, di mana orang di dalamnya menghirup gas beracun (seperti hidrogen sianida atau Zyklon B), gas nitrogen tidaklah beracun dan tidak berbau. Bahkan, faktanya, nitrogen ada berlimpah (78 persen) dalam udara yang kita hirup. Begitu gas nitrogen murni terhirup, ini kondusif untuk merasakan disorientasi dan sedikit euforia, mirip dengan bagaimana rasanya berada dalam kabin pesawat yang tekanan udaranya tiba-tiba merosot.
Pada akhirnya, kematian datang dengan menipisnya oksigen dan berlebihnya karbon dioksida dalam darah dalam maksimal 10 menit. Kapsul Sarco yang bisa didaur ulang, karena terbuat dari material dasar kayu, kemudian bisa diangkat untuk dijadikan peti jenazah dan ditempatkan dimanapun diinginkan.
Ada tiga kapsul bunuh diri Sarco di dunia saat ini. Pertama di antara koleksi Museum Kultur Pemakaman Jerman di Kassel. Yang kedua ada di laboratorium Exit International di Belanda. Di Belanda pula, di Rotterdam, perusahaan itu tengah mencetak dengan teknik 3D untuk kapsul yang ketiga.
“Yang ada di Jerman itu biru. Satu di laboratorium saya memiliki warna material cetak, dan satu yang sedang dicetak kemungkinan ungu,” kata Nitschke.
Exit International akan segera mengapalkan kapsul ungu itu ke Swiss di mana orang pertama yang menginginkan meninggal di dalamnya telah menunggu. “Ungu adalah warna yang bermartabat,” kata Nitschke. Dia dan timnya mengaku khawatir apakah membuat kapsul itu terlalu mencolok. “Tapi saya memang tidak berpikir kematian seseorang harus tidak menarik,” katanya.
Bunuh diri dengan pendampingan, asalkan dengan motif yang dinilai tidak egois, telah dilegalkan di Swiss sejak 1942. Pada 2020, sekitar 1.300 warganya berdatangan ke tempat-tempat yang melayani eutanasia untuk mengakhiri hidup.
Berdasarkan perundang-undangaan di Swiss, psikiater adalah ahli yang harus memutuskan apakah seseorang memiliki kapasitas mental untuk menempuh bunuh diri dengan pendampingan itu atau tidak. “Psikiater hadir dengan prasangka dan penilaian mereka sendiri,” kata Nitschke.
Untuk mendukung setiap keputusan tersebut, Nitschke dan timnya juga mengembangkan program kecerdasaan buatan, dengan maksud mengeliminasi variabilitas dan bias. Sekalipun metode dengan AI itu tak disukai ahli seperti John Hooker, profesor bidang tanggung jawab sosial dan etika bisnis dan riset di Carnegie Mellon University di Pittsburgh, Amerika Serikat. Menurutnya, metode AI tak berkecukupan untuk bisa memahami alam pikiran seseorang dan berkomunikasi cukup dalam.
“Ini tidak cukup dengan hanya menentukan respons yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan. Anda harus memastikan bahwa seseorang berada dalam pemikirannya yang tepat, dan memiliki daya nalar atau penjelasan atau justifikasi yang tinggi dan koheren,” kata Hooker.
Meski ada perdebatan soal etik yang panjang, Nitschke mengatakan, kapsul Sarco adalah cara paling humanis untuk diterapkan di negara seperti Amerika Serikat. Alasannya, tak butuh jarum untuk menyuntikkan obat ke aliran dalam tubuh, “Juga tak perlu memaksakan menelan obat yang bisa bikin muntah, seperti yang kerap terjadi di beberapa klinik eutanasia di Swiss.”
Bagaimana jika seseorang berubah pikiran begitu berada dalam kapsul bunuh diri? “Mereka tinggal tak perlu menekan tombol,” kata Nitschke. Kapsul, kata dia, tak terkunci sehingga orang di dalamnya bisa sewaktu-waktu bangkit ke luar. Sebaliknya, seketika setelah tombol gas nitrogen ditekan, tak ada waktu untuk menyesal karena kurang dari semenit orang di dalamnya langsung tak sadarkan diri.
POPULAR MECHANICS
Catatan Redaksi:
Jangan remehkan depresi. Untuk bantuan krisis kejiwaan atau tindak pencegahan bunuh diri di Indonesia, bisa menghubungi : Yayasan Pulih (021) 78842580
Baca juga:
Studi: Badai Bersemi lebih Banyak di Masa Depan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.