TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari ini ada pernyataan tentang super immunity yang dianggap sebagai salah satu alasan kasus Covid-19 di Indonesia—juga beberapa negara lain—dapat tetap melandai.
Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020, Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan bahwa ada tujuh aspek dari munculnya super immunity di tengah pandemi Covid-19.
Pertama, Tjandra melanjutkan, pada mereka yang sembuh dari sakit Covid-19 maka akan terbentuk antibodi, ini yang disebut imunitas alamiah. Data menunjukkan bahwa jika mereka kemudian sesudah sembuh, mendapat vaksinasi lagi maka imunitasnya akan tumbuh menjadi lebih baik lagi.
“Inilah yang belakangan ini banyak disebut sebagai super immunity atau nama lainnya hybrid immunity,” ujar dia melalui pesan WhatsApp, Rabu, 5 Januari 2021.
Aspek yang kedua adalah menurut laporan awal penelitian di jurnal kesehatan internasional Nature akhir 2021 menunjukkan bahwa serum darah orang dengan super immunity memiliki kemampuan lebih baik untuk menetralisasi beberapa varian Covid-19. Setidaknya, kata Tjandra, lebih baik daripada netralisasi pada mereka yang mendapat vaksin tapi sebelumnya tidak pernah sakit.
Tjandra yang juga Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), itu menerangkan aspek ketiga, yaitu tentang pemberian vaksin dosis ketiga atau booster. “Yang ternyata memberi perlindungan sama seperti super immunity pada mereka yang belum pernah sakit sebelumnya,” katanya.
Yang keempat, bahwa perlu disadari super immunity bukanlah hal yang benar-benar sangat super. Menurutnya, efektivitasnya juga mungkin akan berkurang, walaupun memang ada yang menyebut sebagai hyper-charged immunity. “Juga belum tahu benar bagaimana dampaknya Omicron.”
Aspek kelima yang juga perlu dipahami adalah menyebut super immunity maka sama sekali tidak berarti mengatakan bahwa baiknya orang dapat sakit saja, lalu kemudian di vaksin. Tjandra menyebutkan bahwa itu adalah pendapat yang salah, karena jatuh sakit seseorang tentu punya berbagai risiko besar bagi kesehatan, bahkan mungkin juga kehidupan.
Keenam, adanya fenomena lain, yaitu bagaimana imunitas tubuh pada seorang yang divaksin Covid-19 tapi kemudian tetap jatuh sakit Covid-19. Hal itu setidaknya berdasarkan penelitian yang diterbitkan di jurnal JAMA akhir 2021.
Ketujuh, Tjandra yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Jakarta, itu melanjutkan dengan berbagai perkembangan ilmu yang ada, maka pesan utamanya tetap segeralah mendapat vaksin yang lengkap. Data terakhir sampai 1 Januari 2022 menunjukkan masih lebih dari 45 persen masyarakat belum mendapat vaksinasi lengkap.
“Bahkan masih sekitar 57 persen lansia kita belum mendapat vaksinasi memadai. Angka ini harus dikejar dengan segala upaya maksimal kita semua,” tutur Tjandra.
Tjandra juga menyarankan, jika sudah akan ada kemungkinan mendapat vaksin booster maka sebaiknya segera untuk dilakukan. “Khususnya awalnya bagi mereka yang punya risiko lebih tinggi untuk mendapat penyakit Covid-19 dalam berbagai variannya,” katanya lagi.
Baca:
AS, Inggris, Prancis, Australia Catat Rekor Kasus Covid-19 Saat Omicron Meluas
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.