TEMPO.CO, Jakarta - BMKG menegur pemilik akun di media sosial yang membagikan informasi kemunculan awan gempa dan memprediksi rilis energi dari Patahan Sumatera di darat ataupun yang di laut pada Kamis 3 Maret 2022. Gempa diprediksinya bisa terjadi dalam 1x24 jam sejak kemuncuan awan itu. Kekuatannya bahkan disebutkan pula, yakni lebih dari Magnitudo 5,0.
BMKG mempertanyakan definisi awan itu dan, tentu saja, bukti ilmiah hubungannya dengan kejadian gempa. "Tahu dari mana itu awan gempa? Mohon tidak menambah resah masyarakat yang sedang dilanda gempa," bunyi cuitan di akun Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono. Dia menegaskan, "Gempa bumi adalah bagian dari proses ilmiah, tidak ada hubungannya dengan awan."
Hoax hubungan awan dan gempa juga ditegaskan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) dalam penjelasannya di website untuk topik pertanyaan: Dapatkah anda memprediksi gempa bumi? Menurut USGS, sebuah prediksi terhadap gempa harus memenuhi tiga unsur yakni, waktu (hari dan jam), lokasi dan kekuatan.
Beberapa orang memang mengaku ada yang bisa meramal kejadian gempa. Tapi, USGS menyatakan, ada tiga alasan kenapa mereka palsu. Ini termasuk untuk mereka yang menggunakan petunjuk awan. Ketiga alasan itu adalah,
1. Mereka tidak berdasar kepada bukti ilmiah, dan gempa bumi adalah bagian dari sebuah proses ilmiah.
2. Mereka tidak mendefinisikan seluruh unsur yang disyaratkan untuk sebuah prediksi
3. Prediksi mereka terlalu umum yang memang pasti terjadi; misalnya, (a) Akan ada gempa M4 di satu lokasi di AS dalam 30 hari ke depan. (b) Akan ada sebuah gempa M2 di wilayah pantai barat AS hari ini.
"Jika gempa terjadi sesuai dengan prediksi yang dibuat, mereka mengklaim prediksinya tepat meski satu atau lebih unsur yang diprediksinya mungkin berbeda dari yang sebenarnya terjadi, sehingga itu sebenarnya prediksi yang gagal," kata USGS.
Menurut USGS, ramalan-ramalan (oleh non-saintis) biasanya mulai viral di media sosial ketika sesuatu terjadi yang kemudian dianggap sebagai pertanda bakal ada gempa dalam waktu dekat. Tanda-tanda itu semestinya adalah sekawanan gempa-gempa lemah, meningkatnya kadar gas radon dalam perairan setempat, perilaku satwa yang tak biasa, meningkatnya kekuatan dari sejumlah kejadian gempa sedang, atau sebuah gempa berkekuatan sedang yang jarang terjadi dan diduga kalau itu adalah gempa pembuka.
Itu seperti perkiraan gempa pernah dibuat di Cina beberapa dekade lalu berbasis catatan gempa-gempa lemah yang terjadi mendahului dan aktivitas satwa yang tidak biasa. Banyak warganya kemudian memilih tidur di luar rumah dan terbukti menyelamatkan mereka ketika gempa utama benar terjadi dan menyebabkan kerusakan luas.
Sayangnya, kebanyakan tanda-tanda itu kerap kali terjadi tanpa diikuti gempa, sehingga sebenarnya prediksi tidak memungkinkan dilakukan. Termasuk dengan kejadian gempa kuat berikutnya di Cina, pasca-keberhasilan prediksi gempa, yang tak didahului gejala yang sama dan ribuan orang tewas.
USGS mentesiskan, kalaupun ada basis ilmiahnya, sebuah perkiraan mungkin dibuat dalam status probabilitas--yang kepastiannya semakin rendah karena jangka waktu ataupun kisaran yang semakin besar. Itu sebabnya USGS menyatakan fokus kepada upayanya dalam mitigasi dampak gempa jangka panjang dan menolong memperbaiki keselamatan struktur ketimbang mencoba mencari formula prediksi gempa jangka pendek.
Baca juga:
Tantang UGM Prediksi Gempa Besar, BMKG: Supaya tidak Dibilang Kebetulan