Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mengenal Teknologi AI dan Bahayanya bagi Manusia

image-gnews
Robot otonom Damo ditampilkan dalam World Artificial Intelligence Conference (WAIC) di Shanghai, Cina, 8 Juli 2021. REUTERS/Yilei Sun
Robot otonom Damo ditampilkan dalam World Artificial Intelligence Conference (WAIC) di Shanghai, Cina, 8 Juli 2021. REUTERS/Yilei Sun
Iklan

TEMPO.CO, JakartaSaat Artificial Intelligence (AI) tumbuh lebih canggih dan tersebar luas, suara-suara yang memperingatkan potensi bahaya kecerdasan buatan itu semakin keras. Seperti kata Stephen Hawking, “Perkembangan AI bisa berarti akhir dari umat manusia.”

Hal itu tidak Hawking ungkap sendirian. Pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk, mengaku bahwa AI membuat dirinya takut. “Kecerdasan buatan bisa melakukan lebih dari yang diketahui hampir semua orang, peningkatan kemampuannya bersifat eksponensial.”

Mulai dari peningkatan otomatisasi pekerjaan tertentu, algoritma yang bias gender dan rasial, senjata otonom yang beroperasi tanpa kendali manusia, hingga kegelisahan di sejumlah bidang lainnya. Manusia kini bahkan masih dalam tahap paling awal dalam mengembangkan kemampuan teknologi AI yang sesungguhnya.

Bahaya AI bagi Manusia

Pertanyaan tentang siapa yang membuat AI dan apa tujuannya semakin penting untuk memahami potensi kerugian robot tersebut. Sejumlah komunitas teknologi telah lama memperdebatkan ancaman dari hadirnya kecerdasan buatan. Otomatisasi pekerjaan, berita palsu, hingga senjata bertenaga AI disebut-sebut sebagai bahaya terbesar saat ini.

Simak lebih dekat kemungkinan bahaya kecerdasan buatan dan eksplorasi cara mengelola risikonya.

  1. Kehilangan Pekerjaan akibat Otomatisasi AI

Otomatisasi pekerjaan yang didukung AI menjadi perhatian yang mendesak karena tampak diadopsi oleh industri pemasaran, manufaktur, hingga kesehatan. Sebanyak 85 juta pekerjaan diperkirakan akan hilang akibat otomatisasi dari 2020 hingga 2025. Karyawan dari kelompok marginal pun semakin rentan.

Saat robot AI menjadi lebih pintar dan cekatan, sebuah pekerjaan bakal membutuhkan lebih sedikit manusia. AI mungkin akan menciptakan 97 juta pekerjaan baru pada 2025 secara bersamaan, tetapi banyak karyawan rawan tertinggal lantaran tidak memiliki keterampilan teknis semacam itu.

  1. Manipulasi Sosial lewat Algoritma AI

Laporan tahun 2018 tentang potensi penyalahgunaan AI mencantumkan manipulasi sosial sebagai salah satu bahaya utama kecerdasan buatan. Ketakutan ini tercermin dari tindakan politisi yang mengandalkan sebuah platform untuk mempromosikan sudut pandang mereka. Seperti Bongbong Marcos, ia mengerahkan pasukan provokatif TikTok untuk merebut suara anak muda Filipina selama Pemilu 2022.

Algoritma AI TikTok memenuhi beranda pengguna dengan konten-konten yang saling terkait satu sama lain. Kritik pun bermunculan karena algoritma itu dianggap gagal untuk menyaring konten berbahaya dan tidak akurat. TikTok diragukan mampu melindungi penggunanya dari konten yang menyesatkan.

Media berita online bahkan lebih suram mengingat deepfake yang menyusup ke ranah politik dan sosial. Mengganti wajah seseorang dengan sosok lainnya dalam sebuah foto atau video menjadi pekerjaan mudah bagi AI. Akibatnya, terbuka jalan bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menyebarkan hoaks dan propaganda. Sulit membedakan suatu berita yang berisi informasi benar atau salah.

  1. “Mata-Mata” Sosial dengan Teknologi AI

Selain ancaman yang bersifat eksistensial, AI juga akan berdampak buruk pada keamanan privasi. Contoh utamanya adalah penggunaan teknologi pengenalan wajah (face recognition) di banyak tempat umum. Jenis AI ini lebih lanjut dapat melacak pergerakan seseorang, mengumpulkan data aktivitas dan relasi, bahkan pandangan politik.

  1. Bias Manusia pada AI

Selain bias data dan algoritma, AI dibuat oleh manusia dan manusia sendiri pada dasarnya adalah bias. Pengembang AI kebanyakan adalah laki-laki dari demografi dan ras tertentu, tumbuh di lingkungan sosial ekonomi yang tinggi, dan tanpa disabilitas. Populasi mereka sangat homogen sehingga sulit untuk berpikir lebih luas soal masalah dunia.

Contoh sederhananya adalah ketika teknologi pengenalan wicara (speech recognition) sukar memahami dialek atau aksen tertentu. Banyak perusahaan AI juga tidak mempertimbangkan konsekuensi dari chatbot yang meniru tokoh-tokoh terkenal. Mereka harus lebih berhati-hati atas terciptanya bias dan prasangka kuat yang membahayakan populasi minoritas.

  1. Ketimpangan Sosial Ekonomi akibat AI
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meluasnya ketimpangan sosial ekonomi akibat hilangnya pekerjaan yang didorong oleh AI adalah penyebab lain yang perlu dikhawatirkan. Pekerja kerah biru (kelas buruh) yang melakukan lebih banyak tugas manual dan berulang telah mengalami penurunan upah hingga 70 persen karena otomatisasi. Sementara itu, pekerja kerah putih (kelas kantoran) sebagian besar tidak terdampak, gajinya bahkan menjadi lebih tinggi.

Klaim bahwa AI telah mengatasi batas-batas sosial atau menciptakan lebih banyak pekerjaan gagal terwujud melihat dari sekumpulan efek sampingnya. Sangat penting untuk mempertimbangkan perbedaan berdasarkan ras, kelas, dan kategori lain. Jika tidak, AI dan otomatisasi justru hanya menguntungkan kelompok tertentu dengan mengorbankan kelompok sisanya.

  1. Pelemahan Etika Akibat AI

Bersama dengan para teknolog, jurnalis dan tokoh politik, bahkan para pemuka agama, menyuarakan peringatan tentang potensi jebakan sosio-ekonomi AI. Sebuah kecerdasan buatan mampu mengedarkan opini tendensius dengan data-data palsu. Lebih banyak konsekuensi bisa terjadi jika AI dibiarkan berkembang tanpa pengawasan yang tepat.

Masalah di sisi lain adalah mentalitas tentang, “Jika dapat menghasilkan uang dari sesuatu, kita akan lakukan apa pun itu.” Tak peduli seberapa besar risiko kecerdasan buatan, perusahaan-perusahaan teknologi dikhawatirkan bakal terus mendorong perkembangannya kalau itu menghasilkan banyak uang. OpenAI bahkan baru saja tersandung kasus mengupah rendah karyawan Kenya yang bertugas menyempurnakan ChatGPT.

  1. Sistem Senjata Otonom yang Didukung oleh AI

Seperti yang sering terjadi, kemajuan teknologi juga telah dimanfaatkan untuk tujuan peperangan. Untungnya, beberapa pihak telah mencegah meluasnya AI di bidang persenjataan ini. Dalam surat terbuka tahun 2016, lebih dari 30.000 orang, termasuk peneliti AI dan robotika, menolak investasi dalam pembuatan senjata otonom “berbahan bakar” AI.

Jika ada kekuatan militer besar yang mendorong pengembangan senjata AI, perlombaan senjata global akan hampir tak terelakkan. Prediksi ini membuahkan hasil dalam bentuk Sistem Senjata Otonomi Mematikan yang mampu menghancurkan target hanya dengan segelintir kueri dan regulasi. Bahaya bakal menjadi jauh lebih besar ketika senjata otonom itu jatuh ke tangan yang salah.

Saat persaingan politik dan penghasut perang cenderung tak terkendali, kecerdasan buatan dapat diterapkan dengan niat buruk.

  1. Krisis Keuangan akibat Algoritma AI

Industri keuangan menjadi lebih mudah menerima keterlibatan teknologi AI dalam keuangan sehari-hari dan proses perdagangan. Akibatnya, perdagangan algoritmis mungkin harus bertanggung jawab atas krisis keuangan besar di masa depan.

Algoritma AI tidak mempertimbangkan konteks, keterkaitan pasar, dan faktor-faktor seperti kepercayaan dan ketakutan manusia. AI bisa saja menyebabkan kejatuhan tiba-tiba dan volatilitas pasar yang ekstrem. Namun, itu bukan berarti AI tidak memberi keuntungan apa pun ke dunia keuangan. Algoritma AI juga bisa membantu investor dalam membuat keputusan yang lebih cerdas dan tepat.

Mitigasi Risiko AI

Untuk mendapat hasil maksimal dari teknologi AI, sejumlah ahli berpendapat bahwa lebih banyak regulasi harus digaungkan. Berikut sejumlah langkah paling dasar untuk mengurangi risiko dari adanya kecerdasan buatan.

  1. Kembangkan regulasi nasional dan internasional.
  2. Buat standar organisasi untuk menerapkan AI.
  3. Jadikan AI sebagai bagian dari budaya dan diskusi perusahaan.
  4. Buat teknologi informasi dengan perspektif humaniora.

Pilihan editor: Mengenal Apa itu Artificial Intelligence dan Contohnya

SYAHDI MUHARRAM

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


5 Tips Agar Tidak Tertipu AI Saat Belanja Online

1 hari lalu

Ilustrasi belanja online / e-commerce. freepik.com
5 Tips Agar Tidak Tertipu AI Saat Belanja Online

Pakar Komunikasi Digital bagikan tips agar masyarakat tidak tertipu oleh konten rekayasa teknologi artificial intelligence (AI) saat belanja online


OpenAI Memperluas Ekspansi dengan Membuka Kantor di Tokyo

1 hari lalu

Ilustrasi OpenAI. REUTERS/Dado Ruvic
OpenAI Memperluas Ekspansi dengan Membuka Kantor di Tokyo

OpenAI berekspansi ke Asia dengan membuka kantor baru di Tokyo, Jepang. Perusahaan ini merilis model GPT-4 yang dioptimalkan untuk Jepang.


Top 3 Dunia: Ditipu Elon Musk Palsu Hingga Judi Online Kejahatan Transnasional

2 hari lalu

Mahasiswa pro-Palestina mengambil bagian dalam protes mendukung Palestina di tengah konflik yang sedang berlangsung di Gaza, di Universitas Columbia di New York City, AS, 12 Oktober 2023. REUTERS/Jeenah Moon
Top 3 Dunia: Ditipu Elon Musk Palsu Hingga Judi Online Kejahatan Transnasional

Berita Top 3 Dunia pada Jumat 26 April 2024 diawali oleh kabar seorang wanita di Korea Selatan ditipu oleh orang yang mengaku sebagai Elon Musk


Apple Kebut Pengembangan AI Model Bahasa Besar untuk Iphone

2 hari lalu

Gambaran artistik iPhone 16 dan tombol Capture. Gsmarena.com
Apple Kebut Pengembangan AI Model Bahasa Besar untuk Iphone

Apple dikabarkan sedang mengembangkan sistem AI dengan model bahasa besar (LLM) untuk mengaktifkan fitur Device Generative AI di perangkatnya.


Qualcomm Meluncurkan Snapdragon X Plus

2 hari lalu

Ilustrasi Qualcomm Snapdragon X Elite. (Qualcomm)
Qualcomm Meluncurkan Snapdragon X Plus

Qualcomm merilis chip terbaru mereka bernama Snapdragon X Plus untuk performa di laptop dengan dukungan kecanggihan AI


Wanita Korsel Ditipu Elon Musk Palsu Lewat Deepfake, Rugi Rp 811 Juta

3 hari lalu

Elon Musk berencana menghapus judul dari artikel berita yang dibagikan di X (X/Kylie Robison)
Wanita Korsel Ditipu Elon Musk Palsu Lewat Deepfake, Rugi Rp 811 Juta

Elon Musk palsu menipu seorang wanita di Korea Selatan dengan menggunakan aplikasi deepfake. Bagaimana modusnya?


Lowongan Kerja Tergerus AI, Pakar Unair: Pekerja Skill Rendah Semakin Tertekan

5 hari lalu

Ilustrasi Kecerdasan Buatan (Yandex)
Lowongan Kerja Tergerus AI, Pakar Unair: Pekerja Skill Rendah Semakin Tertekan

Pakar Unair mewanti-wanti regulator soal bahaya AI terhadap dunia kerja. AI bisa menyulitkan angkatan kerja baru, terutama yang memiliki skill rendah.


Tesla Turunkan Harga Teknologi Full Self Driving Menjadi $8.000

5 hari lalu

Ilustrasi Logo Tesla. REUTERS/Dado Ruvic
Tesla Turunkan Harga Teknologi Full Self Driving Menjadi $8.000

Awal bulan ini, Elon Musk mengatakan bahwa Tesla akan meluncurkan robotaksi pada tanggal 8 Agustus 2024.


PM Australia Sebut Elon Musk Miliarder Sombong Gara-gara Tolak Hapus Unggahan di X

5 hari lalu

CEO SpaceX dan Tesla, dan Pemilik Twitter, Elon Musk. REUTERS/Gonzalo Fuentes
PM Australia Sebut Elon Musk Miliarder Sombong Gara-gara Tolak Hapus Unggahan di X

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menyebut Elon Musk sebagai miliarder sombong karena tak mau menghapus unggahan di media sosial X.


Elon Musk Berdebat dengan Pemerintah Australia Soal Konten Penikaman Uskup di Sydney

6 hari lalu

CEO SpaceX dan Tesla, dan Pemilik Twitter, Elon Musk. REUTERS/Gonzalo Fuentes
Elon Musk Berdebat dengan Pemerintah Australia Soal Konten Penikaman Uskup di Sydney

Pemilik media sosial X Elon Musk menolak untuk menghapus konten media sosial tentang insiden penikaman uskup di Sydney, menentang perintah komisaris sensor Australia.