TEMPO.CO, Bandung - Teknologi digital, termasuk rekayasa kecerdasan buatan atau artificial intelligent (AI), harus memenuhi prinsip hak asasi manusia (HAM). Menurut Sinta Dewi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan keahlian Hukum Siber, aspek hukum terkait dengan kemampuan AI untuk menggunakan data personal sedemikain rupa. “Sehingga bisa merugikan privasi seseorang,” katanya di acara daring Satu Jam Berbincang Ilmu gelaran Unpad, Sabtu 10 Juni 2023.
Sekitar sepuluh tahun lalu, menurut Sinta, isu data privasi terkait dengan penggunaan data oleh pemerintah dan korporasi. Sekarang, tantangan privasi bertambah dari teknologi AI yang bisa mengakses sejumlah data pribadi. Adapun isu global mengenai AI sudah berlangsung sejak 2017.
Rekayasa teknologi AI memungkinan komputer dan perangkat lunak yang dibuat dengan program, bisa berpikir seperti manusia hingga ada yang menyebut bisa melebihi kemampuan manusia.
Penggunaan AI pada awalnya banyak digunakan oleh industri besar teknologi informasi. Beberapa manfaatnya, seperti konsultasi kesehatan lewat layanan chatbot, edukasi, dan menganalisa data. “Seperti untuk memperkirakan sebaran wabah Covid dan mencegah sebarannya,” ujar dia.
Di berbagai negara, kata Sinta, pemerintah, parlemen, akademisi, kelompok masyarakat, bahkan pembuat aplikasi berbasis AI sendiri mendesak pengaturan lewat regulasi. Sementara ini, masih ada tarik-menarik pandangan soal hukum yang terkait teknologi digital. Amerika Serikat misalnya, lebih menyukai pembuatan standar, karena aturan yang ketat dinilai bisa membuat inovasi tidak berkembang.
Sementara Uni Eropa, menurut Sinta, ingin agar negara bisa mengintervensi hukum dan teknologi untuk melindungi masyarakat. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang ikut mengamati AI, pada 2019 telah membuat lima prinsip berbasis nilai untuk penggunaan AI, yaitu mendorong inklusif dan keberlanjutan pembangunan serta kesejahteraan. Kemudian berpusat pada nilai kemanusiaan. “Teknologi AI tidak boleh mengalahkan atau merugikan manusia,” kata Sinta.
Prinsip lainnya adalah pengembang AI harus transparan. Sistem AI pun wajib berfungsi dengan cara yang kuat dan aman sepanjang masa pakainya sambil terus mengelola dan menilai potensi risikonya. “Korporasi itu nanti akan diminta pertanggungjawabannya kalau tidak memenuhi unsur-unsur tersebut,” ujar Sinta.
Sedangkan lima prinsip universal terkait privasi, menurutnya, terdiri dari pembatasan pengumpulan data pribadi, spesifikasi tujuan penggunaan data, kemudian ada pembatasan pemakaian data pribadi. Prinsip lainnya mengenai transparansi dan persetujuan dari pemilik data, serta ada akuntabiltas dan tata kelola penggunaan data.
Untuk di Indonesia, Sinta mengusulkan pengaturan atau pembuatan standar AI secara sektoral. Alasannya karena untuk membuat regulasi yang komprehensif dinilai agak susah. Dari pengalamannya membantu pemerintah dalam menyusun Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, perlu waktu delapan tahun hingga disahkan kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat. Adapun pembuatan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi memakan waktu 10 tahun.
Sinta mengaku menghadapi ego sentris masing-masing kementerian yang begitu tinggi untuk menjadi pengawas. Selain itu di parlemen yang punya banyak partai politik, tahap penyusunannya juga dinilai lama. “Karena berbagai kepentingan di tingkat pemerintah kemudian di parlemen,” ujarnya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.