TEMPO.CO, Jakarta - Musibah banjir melanda wilayah Sumatera Barat sejak Jumat, 14 Juli lalu dan merendam hampir seluruh wilayah di pesisir Sumbar. Banjir disebabkan curah hujan yang cukup deras sejak Kamis malam.
"Hampir seluruh wilayah Pesisir Sumbar terendam banjir. Daerah yang terparah adalah Kota Padang," kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar Rumainur.
Mengenai banjir itu, peneliti Klimatologi dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin memberikan penjelasan mengenai penyebab hujan ekstrem di Padang hingga menyebabkan banjir. Menurut dia, pada Kamis kemarin itu curah hujan akumulasi selama satu hari di Bandara internasional Padang pada 14 Juli 2023 menunjukkan 229 mm.
"Ini adalah curah hujan rata-rata dalam 1-2 bulan yang turun dalam satu hari," kata Erma, Sabtu, 15 Juli 2023.
Menurut Erma, angka itu bahkan melebihi nilai ambang batas intensitas hujan dalam satu bulan untuk menandai musim hujan, yaitu 150 mm.
Selain Padang, Erma mencatat hujan ekstrem turun di Sibolga yang mencapai 135 mm pada 13 Juli 2023. Hal itu membuktikan kasus hujan ekstrem ini tidak hanya terjadi secara lokal di Padang, tapi juga di wilayah lain dalam skala meso yg melibatkan peran gangguan cuaca pada skala meso.
Erma mengatakan skala meso yang memicu hujan ekstrem tersebut berkaitan dengan dinamika vorteks (pusaran angin berputar) di Samudera Hindia bagian barat yang membangkitkan badai squall-line. Vorteks itu terbentuk di pesisir barat Sumatera pada dua sentra lokasi menjelang tengah malam pada 13 Juli 2023, yaitu wilayah Aceh Singkil-Tapanuli-Mandaling Natal dan Padang Pariaman-Kota Padang.
Khusus untuk kota Padang, Erma menyebut rekaman data hujan menunjukkan hujan turun setiap hari sejak awal Juli 2023 dengan intensitas bervariasi dari 1,5 mm hingga 61 mm sebelum terjadi hujan ekstrem pada 14 Juli.
"Oleh karena itu, kondisi wet spell atau hari-hari basah sudah mendahului hujan ekstrem sehingga membuat kondisi tanah mencapai titik jenuh di kota Padang. Inilah yang memperparah banjir meluas di wilayah Padang dan sekitarnya," kata Erma.
Kondisi itu diperkuat dengan dukungan suhu permukaan laut yg menghangat di Samudera Hindia dekat Sumatera yang membuat aktivitas awan dan hujan mengalami multiplikasi. Dalam catatan Erma, sektor perairan di Samudera Hindia sektor Jawa-Sumatera telah diteliti menjadi lokasi dominan yang dapat memicu hujan selama musim kemarau di Indonesia.
Selain itu, aktivitas Boreal Summer Intraseasonal Oscillation (BSISO) 1 fase 3 yang sedang menguat dengan lokasi di India- Samudera Hindia-Benua Maritim Indonesia turut memperkuat hujan. Aktivitas gelombang BSISO memberikan dukungan terhadap suplai klaster awan raksasa yang bergerak dari Samudera Hindia menuju Laut Cina Selatan melintasi Sumatera dan Kalimantan.
Menurut Erma, fenomena cuaca yang terjadi di Padang itu merupakan anomali cuaca yang dapat terjadi pada segala musim. Karena itu, ia menilai dibutuhkan sistem pemantauan hujan yang dapat memberikan informasi pergerakan hujan setiap menit dari radar hujan.
BRIN sendiri telah mengembangkan SANTANU agar ancaman terhadap banjir bandang atau banjir besar dapat diketahui secara lebih cepat oleh masyarakat untuk memperkuat kemampuan dalam evakuasi mandiri. SANTANU atau Sistem Pemantauan Hujan menampilkan lokasi yang tengah dilanda hujan melalui website dengan menganalisa pengaruh atenuasi sinyal oleh hujan. Hasil optimasi divalidasi menggunakan citra transportable radar.
Pilihan Editor: Banjir Padang, Peneliti BRIN Sebut Ada Pengaruh Bibit Siklon Tropis 95W