TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Veteriner Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rahmat Setya Adji mengatakan BRIN akan mengembangkan vaksin oral untuk mencegah penyebaran wabah antraks pada hewan ternak. Vaksinasi hewan dinilai menjadi langkah yang perlu segera dilakukan dalam mengendalikan wabah antraks di wilayah-wilayah endemi.
“Saya baru melakukan identifikasi isolat bakteri antraksnya, kami akan mulai kembangkan tahun depan,” jelas Rahmat saat menjadi narasumber dalam acara Media Lounge Discussion (MeLoDi) di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Kamis, 20 Juli 2023.
Menurutnya, vaksin antraks sudah dikembangkan dan diproduksi di Surabaya dan Bogor, hanya saja perlu jenis vaksin oral yang lebih aman, mudah digunakan, murah dan protektif. Jika mudah penggunaannya, diharapkan warga dapat melakukan sendiri, sehingga vaksinasi akan lebih masif. "Vaksinasi terhadap hewan tidak gampang dan tidak mudah seperti vaksinasi manusia," jelasnya.
Ia mengakui untuk mengembangkan vaksin oral juga tidak mudah, meski tahapannya tidak sesulit pengembangan vaksin untuk manusia. Tahapannya, jika identifikasi isolat bakteri hasilnya prospektif, maka selanjutnya dapat melakukan uji laboratorium, uji lapangan terbatas, registrasi, dan bisa langsung diaplikasikan.
Rahmat menyebutkan sejauh ini BRIN turut melakukan penelitian diagnosis dan deteksi wabah antraks, salah satunya yang terjadi akhir-akhir ini di Gunung Kidul, Yogyakarta. Pihaknya melakukan diagnosis dan deteksi dengan uji serologi sebagai upaya mendeteksi penyebaran antraks.
Sebelumnya, wabah antraks melanda Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tiga warga dilaporkan meninggal akibat memakan daging hewan yang terkena antraks. Rahmat, yang sebelumnya bertugas di Kementerian Pertanian, mengatakan kejadian di wilayah tersebut berulang dari tahun 2019 hingga 2023.
Sekilas Antraks
Antraks adalah penyakit bakterial bersifat menular akut pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. "Bakteri penyebab antraks, apabila terpapar udara, akan membentuk spora yang sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia termasuk desinfektan tertentu dan dapat bertahan selama 150-200 tahun di dalam tanah," jelasnya.
Antraks umumnya menyerang secara cepat pada hewan herbivora, seperti sapi, kambing, domba, dan lainnya serta dapat menular ke manusia. Antraks yang menyerang hewan kambing, domba, sapi, kerbau, bisa mati secara tiba-tiba tanpa gejala selama 48 jam.
Akibat ketidaktahuan warga tentang kondisi ternak yang mati mendadak, malah langsung menyembelih. Menurut Rahmat, hal ini sangat berbahaya karena begitu disembelih 1 tetes darah hewan mengandung 1 miliar bakteri.
Untuk itu, Rahmat menyarankan jika ada hewan yang mati mendadak harus diwaspadai antraks. Hewan tersebut tidak boleh disentuh atau disembelih. Tempat matinya perlu dilakukan dekontaminasi dengan cara menyiramkan formalin pada area tanah sekira 50 liter per meter persegi, karena bakteri bisa masuk hingga 20 cm. "Penanganan lingkungan ini penting agar antraks tidak muncul kembali," katanya.
Idealnya, lanjut Rahmat, hewan yang mati dibakar sampai habis atau menggunakan mobile incinerator, akan tetapi hal itu butuh biaya besar. Oleh karena itu, hewan tersebut dapat dikubur dengan kedalaman 2 meter, dan lokasi kuburannya disiram pakai formalin, lalu disemen dan ditandai.
"Jika di satu kandang ada hewan yang masih hidup, hewan itu dapat diberi antibiotik yang mengcover 3-4 minggu diisolasi, jika hewan itu tidak mati maka baru divaksinasi," katanya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.