TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan HAkA atau Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh menyatakan keadaan Suaka Margasatwa Rawa Singkil Aceh makin mencemaskan. Manager Geographic Information System Yayasan HAkA, Lukmanul Hakim mengatakan deforestasi yang masih terus terjadi bahkan kian masif dapat menimbulkan banyak keburukan, salah satunya meningkatnya intensitas banjir di permukiman sekitar kawasan konservasi itu.
Berdasarkan data, sejak awal 2019 hingga Juni 2023, kawasan tersebut telah kehilangan 1.324 hektare tutupan hutan, hampir setara dengan lima kali luas kompleks Gelora Bung Karno di Jakarta. Hal ini terjadi akibat maraknya perambahan dan alih fungsi hutan ke perkebunan kelapa sawit.
"Siklus hidrologi yang terganggu berpotensi meningkatkan frekuensi kejadian bencana banjir dan kekeringan,” ujar Lukmanul dalam diskusi kampanye penyelamatan Rawa Singkil berjudul "Karpet Merah di Lahan Basah" yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Ikhtisar diskusi ini dikirim ke Tempo pada Selasa, 25 Juli 2023.
Hal ini terlihat pada beberapa tahun terakhir, dengan kerap terjadi banjir di sekitar kawasan konservasi tersebut. Ia memberi contoh bencana yang terjadi di Desa Cot Bayu dan Lhok.
Selain itu, juga dibahas mengenai satwa yang tinggal di dalamnya. Jika hutan Rawa Singkil yang menjadi habitat alami orangutan dan satwa-satwa penting lainnya terus dirusak, maka berpotensi menimbulkan konflik antara satwa dan manusia. “Kedua hal ini akan berdampak langsung kepada masyarakat yang tinggal di desa-desa di sekitaran Suaka Margasatwa Rawa Singkil," jelasnya.
Dalam skala global, lanjut dia, rusaknya hutan gambut Rawa Singkil juga berdampak pada pemanasan global. Emisi karbon yang dilepas dari rawa gambut ini jauh lebih besar dibanding hutan di lahan mineral. Hal ini memicu pemanasan global yang lebih parah.
Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil terbentang di tiga kabupaten/ kota, yakni Kabupaten Aceh Selatan, Kota Subulussalam, dan Kabupaten Aceh Singkil. Kawasan memiliki luas 82.188 hektare atau lebih luas dari keseluruhan wilayah provinsi DKI Jakarta yang hanya seluas 66.123 hektare.
Yayasan HAkA selama ini rutin memantau kondisi tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), termasuk di dalamnya kawasan Rawa Singkil. Laju deforestasi di kawasan tersebut terus meningkat tiap tahunnya. "Selama Juni 2023 saja, kami menduga ada sekitar 66 hektare hutan yang hilang di Suaka Margasatwa Rawa Singkil,” kata Lukmanul.
Ia memaparkan total selama Januari hingga Juni 2023, Suaka Margasatwa Rawa Singkil diperkirakan mengalami kehilangan tutupan hutan seluas 372 hektare atau meningkat 57 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Tak hanya masalah deforestasi. Rawa Singkil juga dirundung berbagai masalah yang cukup pelik, mulai dari persoalan tapal batas, penegakan hukum, hingga dugaan adanya bekingan.
Suaka Margasatwa Rawa Singkil bermasalah tapal batas
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal mengatakan bahwa Rawa Singkil masih bermasalah dengan tapal batas. "Ini memunculkan konflik," katanya.
Kemudian masalah penegakan hukum yang tebang pilih, hanya menyasar masyarakat biasa saja, membuat perambahan Rawa Singkil terus terjadi. "Perlu diketahui bahwa warga biasa hanya melakukan perambahan di pinggiran saja, tetapi yang masuk ke dalam kawasan inti Rawa Singkil dengan membawa excavator untuk membuka jalan dan saluran, ini patut dipertanyakan," ujar Afifuddin.
Afifuddin menceritakan, pada November 2016, tim BKSDA dan polisi pernah mengamankan beberapa pekerja dan alat berat yang sedang merambah Rawa Singkil. "Anehnya, alat berat excavator yang sudah disita polisi di lokasi tiba-tiba hilang tanpa jejak. Ini salah satu bukti ada yang bermain di Rawa Singkil," kata Afifuddin.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nurazizah Rahmawati mengatakan Rawa Singkil harus diselamatkan dengan melibatkan semua pihak.
Salah satu solusi dengan penegakan hukum terhadap pelanggar perambahan hutan, melakukan pendekatan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak begitu saja menjual tanah di kawasan konservasi itu walaupun masuk dalam batas desa mereka.
"Masyarakat yang tinggal di situ sebenarnya tak ingin (perambahan) ini berlanjut," kata Nurazizah. Menurutnya, selama ini yang paling merasakan dampak dari deforestasi Rawa Singkil adalah masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Jika terjadi banjir, misalnya, maka warga sekitar yang terkena dampaknya.
Sementara itu, Taufik Syamsudin, Pengendali Ekosistem Hutan Muda Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi Ditjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan pihaknya akan terus berupaya menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kawasan hutan termasuk Rawa Singkil.
Taufik mengatakan pemerintah sudah membentuk satuan tugas khusus untuk menyelesaikan masalah perkebunan sawit ilegal di kawasan konservasi. KLHK juga akan menurunkan tim untuk memverifikasi mana klaster sawit korporasi dan masyarakat. Untuk sawit masyarakat, penyelesaiannya akan diperlakukan berbeda.
"Kami belum dapat laporan resmi dari teman-teman KSDAE Aceh terkait siapa saja ‘pemain-pemainnya’ yang ada di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil," kata Taufik. Menurut Taufik, pihaknya perlu mengetahui siapa saja pihak yang "bermain" di Rawa Singkil agar mudah menyelesaikan permasalahannya. Ia mengklaim pemerintah akan hadir di situ menyelesaikannya.
Pilihan Editor: Laporan Sebut Pengguna Google Maps Kurangi 1,2 juta Metrik Ton Emisi Karbon
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.