TEMPO.CO, Jakarta - Praktik joki cilik di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat menjadi sorotan setelah menelan korban jiwa. AB, 12 tahun tewas setelah terjatuh dari kuda yang dinaikinya dalam sesi latihan.
Peristiwa itu pun mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersikap. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar mendorong agar praktik itu dihentikan karena membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, bahkan berisiko pada kematian.
"Praktik penggunaan joki cilik ini agar dapat dihentikan karena berisiko pada kematian dan termasuk bentuk pekerjaan terburuk bagi anak mengingat anak dalam kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman, membahayakan keselamatan, dan kesehatan anak, dan mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan," kata Nahar, Rabu, 16 Agustus 2023.
Terlebih, kejadian seperti itu bukan kali pertama. Kejadian serupa telah terjadi beberapa kali dengan korban meninggal, luka parah, maupun cacat adalah anak-anak.
"Kami turut prihatin atas kejadian insiden joki cilik yang terus berulang. Beberapa kali kami sudah melakukan pertemuan dan diskusi dengan organisasi perangkat daerah, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama. Kami sepenuhnya paham bahwa ini (joki cilik) tradisi yang coba dipertahankan oleh masyarakat," kata Nahar.
Menurut Nahar, pihaknya keberatan dengan pelibatan anak sebagai joki kuda karena dapat mengancam jiwa anak. Apalagi jika tradisi tersebut diduga memenuhi unsur eksploitasi pekerja anak dan eksploitasi ekonomi.
Penggunaan joki anak usia 6 - 18 tahun di Bima karena berat badan joki anak jauh lebih ringan daripada berat badan joki dewasa. Itu memudahkan kuda untuk berlari dengan kencang dan mencapai garis finish dalam waktu yang cepat.
"Tradisi joki cilik ini rentan mencederai anak dari sisi pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak. Anak berpotensi untuk terluka, mengalami kecacatan, hingga meninggal dunia sekaligus rentan masuk ke dalam pusaran eksploitasi ekonomi yang membahayakan tumbuh kembang baik dari sisi fisik, mental, sosial, moral, maupun spiritual," kata Nahar.
Menurut Nahar, jika anak terjebak dalam situasi eksploitasi ekonomi, maka ia akan cenderung untuk kesulitan meneruskan pendidikan. "Hal ini berdampak pada minimnya aksesibilitas, yang dalam jangka panjang dapat melanggengkan kemiskinan. Sedangkan, dari konteks sosial, sangat mungkin jenis lingkungan pergaulan yang ditemui oleh anak adalah lingkungan yang tidak ramah anak," ujarnya.
Di samping itu, Nahar menyebut eksploitasi ekonomi pada anak tidak sejalan dengan arahan presiden, yaitu penurunan pekerja anak.
Di sisi lain, pemerintah daerah setempat telah mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bima Nomor 709/036/05/2022 tentang Joki Cilik Bagian dari Eksploitasi Anak yang merupakan langkah strategis dalam upaya perlindungan anak. Menurut Nahar, dibutuhkan regulasi yang lebih tinggi dan tataran aplikatif agar pemenuhan hak dan perlindungan anak bisa lebih optimal.
“Perlu ada penegasan melalui Perda terkait Keselamatan Penyelenggaraan pacuan kuda yang tidak melibatkan anak. Semua aspek pacuan kuda yang berbahaya bagi keselamatan anak, perlu diatur dalam standar dan prosedur baku sesuai aturan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI).
Nahar mengatakan peraturan daerah juga perlu memasukkan unsur penerapan sanksi bagi yang melanggar agar kasus kematian dan insiden yang mencelakakan anak dalam pacuan kuda tidak terulang kembali. "Pemerintah daerah punya kewajiban besar untuk memberikan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak di wilayah mereka,“ kata dia.
Pilihan Editor: Marak Kekerasan di Sekolah, Psikolog Anak Sebut Ada Pengaruh dari Pandemi Covid-19