TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan tiga spesies tumbuhan dan satwa liar baru berupa spesies burung untuk menjaga perubahan iklim dan memperkaya biodiversitas atau keanekaragaman hayati di Indonesia.
"Sangat logis jika ada hubungan antara perubahan iklim dan keanekaragaman hayati, karena pengelolaan hutan berkelanjutan perlu juga menjaga keanekaragaman hayati," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, Senin, 21 Agustus seperti dikutip dari Antara.
Spesies tumbuhan liar endemik dari genus Hanguana, asal Gunung Nyiut, Kalimantan Barat (Kalbar), ditemukan pada tahun 2022 oleh peneliti di Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar bernama Agusti Randi dan dipublikasikan secara resmi pada Juli 2023 di jurnal internasional, dengan nama spesial yakni Hanguana Sitinurbayai yang terinspirasi dari nama Menteri LHK.
Kemudian, spesies yang baru saja dipublikasikan berikutnya yakni jenis anggrek dengan nama latin Bulbophyllum Wiratnoi yang ditemukan di Taman Wisata Alam Sorong, Papua Barat oleh peneliti spesialis anggrek BKSDA Papua Reza Saputra.
Spesies berikutnya satwa liar jenis burung yang sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 2018 di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan dinamai Myzomela Irianawidodoae, yang terinspirasi nama Ibu Negara Iriana Widodo yang merupakan pecinta burung dan diharapkan terus mendukung konservasi burung langka di Indonesia.
"Ini pertemuan pertama yang saya hadiri secara rileks dan nyaman, jadi banyak harapan ke depan. Ada optimisme dan menjadi sangat penting untuk konservasi flora dan fauna ini," kata Menteri Siti Nurbaya.
Ia memaparkan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman spesies burung, reptil, dan biota air tawar peringkat tertinggi di dunia, yang memiliki potensi genetik luar biasa untuk memenuhi kebutuhan dunia, seperti sandang, pangan, dan kosmetik.
Baca juga: Teknologi Modifikasi Cuaca di Riau Buahkan Hasil, Tambah Curah Hujan
Konservasi keanekaragaman hayati menjadi aksi mitigasi
Upaya konkret yang dilakukan untuk menjaga keanekaragaman hayati tersebut, lanjutnya, dengan menyusun dokumen Folu Net Sink 2030 yang selaras dengan target dan tujuan dunia internasional dalam kesepakatan kerangka biodiversitas global di Montreal, Kanada. Konservasi keanekaragaman hayati menjadi aksi mitigasi dalam mencegah perubahan iklim.
"Kalau mau berbicara Indonesia yang maju dan bersaing kan kita harus mengedepankan yang negara lain tidak punya dan di Indonesia ini kita punya empat flagship spesies yang ada di satu negara, sekaligus yakni badak, harimau, orang utan, dan gajah," ujar Menteri Siti Nurbaya.
Saat ini, menurutnya, sudah ada 6.000 desa di bawah kawasan konservasi yang telah dirangkul oleh KLHK sebagai mitra untuk turut menjaga keanekaragaman hayati.
"Untuk melibatkan masyarakat ini memang perlu artikulasi kebijakan yang tepat, jadi ada proses yang berkembang, misalnya berdasarkan Instruksi Presiden. Sekarang sudah tidak boleh ada lagi kita menyebut masyarakat di sekitar hutan konservasi itu sebagai penduduk liar, atau pemukiman liar, kita perlu melibatkan mereka," ucapnya.
Pilihan Editor: IQAir: Polusi Udara Pontianak Sangat Tidak Sehat
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.