TEMPO.CO, Jakarta - Polusi udara di wilayah Jabodetabek tak berkesudahan membuat pemerintah melakukan usaha rekayasa cuaca beberapa kali demi mendatangkan hujan. Pada operasi teknologi modifikasi cuaca Sabtu, 26 Agustus 2023 hingga pukul 16.00 WB, belum ada informasi hujan.
Namun, pada tengah malam, Ahad 27 Agustus 2023 sekitar pukul 00.00 WIB, hujan gerimis sekitar lima menit turun di Salemba, Jakarta Pusat.
BMKG mengeluarkan data sebaran hujan dari 26 Agustus 2023, pk 07.00 WIB hingga 27 Agustus 2023 pukul 07.00 WIB dan terlihat beberapa titik di Jakarta diguyur hujan. Sebaran spot terlihat berwarna hijau yang berarti hujan ringan 0,5 - 20 mm/hari.
Data menunjukkan stasiun Arg Tomang (Jakarta Barat) mendapat curah hujan sebesar 6,2 mm/ hari, Pompa Cideng 3 mm/hari, Katulampa 3 mm/hari, Perumnas Cengkareng 2 mm/hari, Parung 1,2 mm/hari, Aws Golf Modern Tangerang 0,2 mm/hari dan Aws Cibereum Bogor 0,2 mm/hari.
Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Didi Satiadi, mengatakan musim kemarau bukan berarti tidak mungkin terjadi hujan. “Pada musim kemarau potensi hujan tetap ada walaupun mungkin lebih jarang,” jelasnya lewat pesan singkat 27 Agustus 2023.
Ia memperlihatkan tangkapan layar yang menunjukan kondisi angin dan hujan pada 27 Agustus 2023 pukul 01.00 WIB dini hari dari www.ventusky.com. “Dari situ menunjukkan terjadinya konvergensi angin di sebelah utara Jakarta, tepatnya di sekitar Laut Jawa,” kata Didi.
Tampak konvergensi angin ditunjukkan dengan garis putih putus-putus. Keadaan tersebut yang menghasilkan pertumbuhan awan dan hujan di wilayah tersebut, termasuk sedikit hujan di wilayah sekitar Jakarta.
Konvergensi tersebut terjadi karena angin yang cukup kuat dari tenggara “dibelokkan” oleh adanya Pulau Jawa dan angin daratan, dan kemudian bersatu kembali di sekitar Laut Jawa. “Walaupun jumlah uap air di musim kemarau cenderung berkurang, namun apabila terakumulasi karena adanya konvergensi atau perlambatan angin dapat menghasilkan pertumbuhan awan dan hujan,” jelas Didi.
Faktor lain adalah gangguan atmosfer, maka hujan dapat terjadi cukup lebat, seperti yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia yang lain. Selain itu, efek pemanasan global cenderung meningkatkan intensitas siklus hidrologi dan meningkatkan ekstremitas seperti hujan lebat dan kekeringan di suatu wilayah.
Rekayasa Cuaca
Didi juga menjelas sekilas terkait dengan hujan buatan untuk mengurangi polusi udara. Menurutnya, keberhasilan teknik modifikasi cuaca (TMC) ini bergantung dari banyak faktor, misalnya tersedianya awan yang cukup dingin dan tebal yang mengandung cukup banyak butir air super-dingin (supercooled water droplets) yang dapat membeku pada inti kondensasi yang disebarkan.
Selain itu, tersedianya jumlah inti kondensasi yang cukup serta adanya kondisi angin, stabilitas atmosfer, dan updraft yang dapat menyebarkan inti kondensasi ke seluruh awan. Pada musim kemarau hujan buatan memang lebih sulit untuk dilakukan karena jumlah awan yang cenderung sedikit, namun mungkin saja berhasil apabila kondisi-kondisi meteorologi tersebut dapat dipenuhi.
Saran Mengendalikan Polusi
Didi memberikan saran untuk mengendalikan polusi udara salah satunya dengan pengurangan sumber emisi dan peningkatan jumlah penyerapnya.
Sumber emisi dapat dikurangi misalnya dengan meningkatkan penggunaan energi bersih dan mengendalikan emisi dari industri, transportasi dan rumah tangga. Penyerap polusi udara dapat ditingkatkan misalnya dengan menambah jumlah tumbuhan dan ruang terbuka hijau.
Pada dasarnya polusi terjadi apabila jumlah polutan yang masuk ke dalam sebuah ekosistem terlalu banyak sehingga tidak dapat diproses secara alami dengan cukup cepat. Dengan demikian, keseimbangan antara jumlah polutan yang masuk dan jumlah penyerapnya perlu dikendalikan secara alami atau dengan intervensi.
Pilihan Editor: Sambut Tahun Politik Pemilu 2024, Unair Deklarasi Tolak Politik Uang