TEMPO.CO, Malang - Presiden Jokowi disarankan untuk melihat langsung penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Gunung Bromo dan Gunung Arjuna.
Menurut Anggota Komisi B (Perekonomian) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan, Agatha Retnosari, Presiden Jokowi perlu meninjau langsung karena Gunung Bromo merupakan objek wisata unggulan Jawa Timur yang sudah mendunia dan telah ditetapkan menjadi destinasi wisata prioritas nasional bersama dengan sembilan objek wisata lain—disebut “10 Bali Baru.”
Namun, berdasarkan laporan-laporan yang didapatnya, ditambah dengan pemberitaan media massa, juga kehebohan di media sosial, Agatha berpendapat penanganan karhutla di Gunung Bromo sangat lambat dibanding kerja tim gabungan pengendalian karhutla Gunung Arjuna yang berpusat di Pendapa Kaliandra, Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan.
“Pengendalian karhutla di Gunung Arjuna sudah mencapai hasil yang sangat signifikan, hampir seluruhnya padam. Lha kok yang di Bromo masih terbakar. Padahal sudah dibantu water bombing (pengeboman air) 45 kali seperti laporan yang kami terima. Ingat lho, karhutla itu jadi atensi Presiden Jokowi,” katanya kepada Tempo pada Rabu malam, 13 September 2023.
Penanganan karhutla di Bromo bisa semakin optimal bila dipantau langsung Jokowi, seperti beberapa kali dilakukan Jokowi di daerah lain. Kalau penanganannya cepat dan area terbakar tidak separah itu, tentu Presiden Jokowi tak perlu turun langsung untuk melihatnya.
Agatha menerima laporan bahwa para petugas TNBTS sudah bekerja mati-matian bersama para sukarelawan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Api (MPA). Masalahnya, kerja-kerja petugas di lapangan tidak dikoordinasikan secara aktif dan solid dengan pemangku kepentingan lain yang notabene merupakan organisasi pelaksana pengendalian karhutla di Gunung Arjuna dan Gunung Bromo.
Padahal, Agatha menekankan, pimpinan Balai Besar TNBTS, terutama Kepala Balai Besar TNBTS, harusnya sejak awal berkoordinasi dengan organisasi pengendalian karhutla Jawa Timur, seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB), Dinas Kehutanan, dan TNI/Polri.
Laporan insidental wajib dikirim ke mereka, terutama kepada Gubernur Jawa Timur, bukan ditahan-tahan atau sengaja disembunyikan supaya pengendalian karhutla makin masif dan optimal dilakukan. Agatha mencontohkan, selain titik koordinat, data luas area terbakar diperlukan untuk menentukan akurasi pengeboman air. Dalam konteks ini, manajemen informasi yang rapi dan transparan sangat diperlukan.
Agatha menyampaikan hal itu dengan merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/206 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
“Aku ngertinya karhutla harus diatasi bersama-sama, enggak bisa main sendiri. Jangan tonjolkan ego sektoral yang hanya menghambat pengendalian karhutla. Masukan-masukan anak buah perlu didengerin karena mereka sudah kerja bertahun-tahun di sana sehingga paham banget topografi dan geografi Bromo-Semeru dibandingkan mereka yang masih baru-baru,” kata Agatha, alumnus Teknik Lingkungan Institut Teknologi Surabaya (ITS).
Wilayah TNBTS memang di bawah kendali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tapi Komisi B DPRD Jawa Timur tetap berkepentingan dan mengawasi pengendalian karhutla di Bromo karena sebagian wilayah kerja Balai Besar TNBTS juga terhubung dengan tugas dan wewenang parlemen Jawa Timur.
Agatha menjelaskan, penanganan karhutla Bromo yang lambat bisa memperparah potensi kerugian. Karhutla bisa berdampak langsung terhadap aspek ekonomi, ekologi, dan sosial, juga politik. Dari segi ekonomi, kerugian bisa timbul dari terbakarnya hasil hutan dan perkebunan, serta keanekaragaman hayati. Secara tidak langsung, asap kebakaran mengganggu kesehatan pernapasan, menghilangkan fungsi ekologi kawasan, mengganggu sektor pariwisata dan perhubungan maupun transportasi.
Agatha mendapatkan informasi titik api sudah bergeser jauh dari area Bukit Teletubbies dan Jemplang. Terkait hal ini, Agatha menyarankan kepada Balai Besar TNBTS supaya tidak lagi mengisolasi kawasan Bromo selama 24 jam. Isolasi sementara ini berdampak langsung terhadap perekonomian warga.
Akses masuk kawasan jangan dibuka penuh, tapi diatur seperti penutupan sementara saat terjadi kebakaran di dinding-dinding Kompleks Kaldera Tengger. Kawasan tetap diisolasi mulai pagi sampai jam kantoran habis agar pemadaman api tetap bisa optimal dan lancar.
Namun, perlu dipikirkan pembukaan akses jalan penghubung Malang-Lumajang setelah jam kantor habis lantaran jalan aspal selebar kurang lebih 3 meter dalam kawasan TNBTS, dengan melewati wilayah Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Malang, dan Desa Ranupani, Kecamatan Senduro, Lumajang, makin disukai pengendara yang ingin memangkas waktu dan jarak perjalanan dari Malang ke Lumajang. Lewat Ngadas-Ranupani bisa pangkas jarak 40 kilometer.
Apalagi Jembatan Kaliglidik yang menyambungkan wilayah Malang-Lumajang sedang dibangun setelah putus dihantam banjir lahar Semeru, 7 Juli 2023. Jika lewat jalan raya Malang-Pasuruan-Probolinggo-Lumajang jelas tambah jauh dan lama dengan selisih waktu bisa mencapai 3 jam.
Misalkan, masyarakat yang menetap di wilayah Kecamatan Tumpang dan Kecamatan Poncokusumo, Malang, yang notabene dekat dengan kawasan TNBTS, mungkin sangat keberatan harus mengambil jalan jauh memutar untuk menuju Lumajang.
“Jadi perlu dipikir lagi untuk dicarikan solusi terbaik, dikompromikan, soal pembukaan akses jalan itu, termasuk pembukaan akses kunjungan wisatawan; ya mungkin perlu dipikirkan mereka dibolehkan masuk hanya sampai Penanjakan dan Laut. Pokoknya jangan sampai mendekati lokasi area terbakar karena bisa mengganggu kerja petugas pemadaman,” ujar Agatha.
Pembukaan terbatas kegiatan wisata lewat Wonokitri ke Penanjakan maupun Laut Pasir perlu dipikirkan supaya perekonomian warga, pelaku usaha wisata, termasuk paguyuban jip dan kuda, bergairah lagi.
Kebakaran yang menghanguskan hampir seluruh hutan dan lahan di sekitar Gunung Bromo bermula dari kebakaran kecil di area padang rumput atau sabana Lembah Watangan, yang populer dengan sebutan Bukit Teletubbies, pada Rabu, 6 September 2023. Kebakaran ini dipicu oleh penggunaan cerawat atau flare oleh pengunjung untuk keperluan pemotretan pranikah atau prewedding.
Diperkirakan, area terbakar dari sabana Teletubbies hingga hutan di sekeliling Gunung Bromo sepanjang 6-10 September mencapai antara 750 sampai 800 hektare. BPBD melaporkan 874 hektare. Jika luas kebakaran ini ditambah dengan area terbakar 11-13 September, maka seluruh area terbakar bisa lebih dari 1.000 hektare.
Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo dari lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta instansi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Gunung Arjuna dan Gunung Bromo, luas area terbakar pada 6-10 September yang dilaporkan Raden Intan 6 (alamat Kantor Balai Besar TNBTS di Kota Malang) kepada Gubernur Jawa Timur pada Selasa, 12 September, cuma 500-an hektare.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.