TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerapkan inovasi teknologi nyamuk wolbachia untuk menurunkan risiko penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Efektivitasnya diklaim telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta.
Akan tetapi, agenda penggunaan teknologi wolbachia menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Pakar kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban turut menanggapi isu penyebaran nyamuk yang penelitiannya didanai Bill Gates itu.
“Mungkin karena proyek ini memperoleh dukungan dari Bill & Melinda Gates Foundation, sehingga banyak dikenal sebagai nyamuk Bill Gates,” kata Zubairi dalam cuitan (tweet) di akun X (Twitter) @ProfesorZubairi, Jumat, 17 November 2023.
Lantas, apa itu nyamuk wolbachia?
Mengenal Nyamuk Wolbachia
Dikutip laman resmi Kemenkes, wolbachia adalah nama bakteri yang dapat dijumpai di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk harimau Asia (Aedes albopictus). Wolbachia mampu bertahan hidup di luar sel tubuh serangga, tetapi tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan inangnya.
Baca juga:
“Bakteri wolbachia maupun nyamuk yang bertindak sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik, baik dari wolbachia maupun nyamuk yang digunakan identik dengan organisme yang ada di alam,” ucap peneliti UGM, Adi Utarini, Kamis, 16 November 2023.
Utarini menjelaskan wolbachia secara alami terdapat pada lebih dari 50 persen serangga. Bakteri tersebut memiliki sifat sebagai simbion atau tidak berdampak negatif pada inangnya. Selain itu, berdasarkan analisis risiko yang dilakukan oleh 20 ilmuwan independen di Indonesia menyimpulkan efek negatif wolbachia dapat diabaikan.
Cara Kerja Teknologi Wolbachia
Di Tanah Air, teknologi wolbachia diimplementasikan dengan metode penggantian. Caranya, nyamuk jantan dan nyamuk betina yang terinfeksi wolbachia dilepasliarkan ke alam. Caranya dengan mengembangbiakannya dalam ember yang dititipkan di rumah-rumah warga. Tujuannya agar nyamuk tersebut bereproduksi dengan nyamuk lokal dan menghasilkan anak-anak nyamuk mengandung wolbachia.
Wolbachia, kata Utarini, bertindak sebagai pemutus replikasi virus DBD di dalam tubuh nyamuk. Akibatnya, nyamuk tidak mampu lagi menularkan virus kepada orang yang dihisap darahnya. Selain itu, wolbachia yang terkandung dalam telur nyamuk dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga bersifat berkelanjutan.
Sedangkan di Singapura, teknologi wolbachia diterapkan dengan menggunakan metode penurunan jumlah populasi nyamuk atau suppression. Strategi itu dilakukan dengan melepaskan nyamuk jantan. Nantinya, perkawinan nyamuk jantan dengan nyamuk betina di alam akan menghasilkan telur yang tidak menetas.
Manfaat Nyamuk Wolbachia
Menurut Utarini, wolbachia telah terbukti mengurangi secara signifikan kejadian penyakit demam berdarah. Penurunan itu dapat berimbas pada penghematan biaya dalam pengendalian DBD di negara yang menerapkannya.
“Pendekatan ini sangat efektif dalam pengendalian penyakit yang ditularkan nyamuk di perkotaan besar, berpenduduk padat, dan dengan tingkat insidensi (kasus) dengue yang tinggi,” ujar Utarini.
Sementara itu, Direktur Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Riris Andono Ahmad mengatakan uji coba nyamuk mengandung wolbachia sebelumnya dilakukan di Yogyakarta pada 2022 dan diklaim efektif.
“Hasilnya, di lokasi yang tersebar wolbachia terbukti dapat menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen, serta menurunkan kebutuhan rawat inap pasien DBD di rumah sakit sebesar 86 persen,” kata Riris.
Riris menuturkan, efektivitas nyamuk wolbachia untuk menurunkan kasus demam berdarah telah dibuktikan di 13 negara, yaitu Australia, Colombia, Brazil, Sri Lanka, El Salvador, Laos, Honduras, Vietnam, Fiji, Kiribati, Vanuatu, New Caledonia, dan Meksiko.
MELYNDA DWI PUSPITA
Pilihan Editor: Peneliti dari UGM: Wolbachia Hanya Dapat Hidup di Serangga