TEMPO.CO, Jakarta - Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya meminta pemerintah fokus mengurusi masalah bergabungnya TikTok Shop ke Tokopedia, dibanding tergesa-gesa mengatur pedoman etika pemanfaatan artificial intelligence atau AI di Indonesia. Pandangan itu disampaikan Alfons sebab ketakutannya pada kerawanan data akibat bergabungnya dua platform besar tersebut.
Pakar forensik digital ini turut menilai kalau data yang sebelumnya hanya dimiliki di satu platform bakal bergabung dengan platform lainnya. "Bayangkan jika data ini disatukan, kemungkinan buruknya semua kebiasaan kita, data pribadi kita yang telah terekam di masing-masing platform jadi satu. Tentunya ini sebuah hal yang seram," ujar Alfons saat dihubungi Tempo, Minggu 24 Desember 2023.
Walakin kemungkinan tersebut belum bisa dipastikan bakal terjadi, Alfons tetap meminta pemerintah dan pengguna untuk lebih waspada, terutama pada keamanan data pribadi mereka. Contoh terbaru terkait kebocoran data di Komisi Pemilihan Umum atau KPU, jutaan data pemilih bocor dan dijual oleh akun anonim. "Harusnya ini yang diurus, malah sibuk ngatur AI, tapi yang di depan mata malah dikasih karpet merah untuk mendapatkan bigdata," kata Alfons.
Penggabungan TikTok Shop dengan Tokopedia adalah hal yang menakutkan, setidaknya bagi Alfons yang paham pada keamanan data pribadi. Ia menyebut bahwa pemerintah Indonesia seakan-akan memberi kemudahan untuk oknum yang memungkinkan bisa menyebabkan kebocoran data. "Sebelumnya data sosmed user saja, sekarang digabungkan bisa dapat data kebiasaan belanja dan data diri lebih lengkap. Masalah ini siapa yang bakal mengawasi, mampu tidak kita mengawasinya," ucap Alfons.
Di lain sisi, Alfons menyadari bahwa setiap aplikasi mempunyai kebijakan privasi masing-masing yang berkewajiban untuk tidak memberikan data pengguna mereka ke pihak lain. Namun, ketakutan Alfons adalah siapa yang bisa mengontrol kebijakan tersebut bisa berjalan dengan baik hingga di kemudian hari nanti.
Ketakutan Alfons akan kerawanan bocornya data pribadi itu telah ada sejak lama, ditambah lagi dengan kasus terbaru di KPU, terdapat jutaan data yang bocor. Padahal server KPU disebut Alfons kuat dan seharusnya tidak mudah dibobol. Namun nyatanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. "Sudahlah, mending fokus mengatur hal yang ada di depan mata saja, dibanding mengurusi AI yang pedoman etikanya pun masih diatur secara garis luar saja, belum ke sistemiknya," kata Alfons.
Alfons Skeptis
Alfons juga skeptis terhadap penegakan pedoman etika AI yang diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sebab pedoman tersebut hanya berisikan garis luar dari teknologi kecerdasan buatan, tidak mengatur lebih dalam hingga ke sistemiknya.
"Bagaimana cara pemerintah bisa tahu AI ini tidak melanggar, apakah mereka (pemerintah) punya kemampuan untuk menganalisa AI yang digunakan? Pemerintah kan tidak ada akses ke sistem AI vendor yang digunakan," kata Alfons Tanujaya kepada Tempo, Minggu 24 Desember 2023.
Pedoman etika pemanfaatan AI yang diterbitkan Kominfo itu, dinilai Alfons juga tidak akan terlaksana pemantauannya dengan baik. Kalau hanya sekadar membuat regulasi saja bukanlah hal yang sulit, tapi bagaimana dengan realisasinya di lapangan nanti. "Siapa yang mengontrol AI, emang pemerintah ada akses ke AI ini," ucap Alfons yang juga pakar forensik digital di Vaksincom.
Alfons menerangkan pedoman pemanfaatan AI memang perlu untuk dibuat regulasinya supaya keamanan data dan siber pengguna terjaga. Hampir di seluruh dunia misalnya Uni Eropa sudah berusaha membuat regulasi AI. "Namun sebagai gambaran saja, Uni Eropa yang sudah canggih saja kesulitan mengatur kriterianya dan batasan untuk AI ini, Indonesia bagaimana," ujar Alfons.
Lebih lanjut pedoman etika pemanfaatan AI yang diterbitkan Kominfo itu tidak memuat lebih detail regulasinya, hanya mengatur garis luar semisal menjaga privasi, kredibilitas dan akuntabilitas. "Tidak bikin pedoman pun, semua hal ini juga perlu dan harus diterapkan. Pertanyaan mendasar saya itu yang menjaga regulasinya siapa, misal ada pelanggaran mengambil tolak ukurnya dari mana," kata Alfons.
Alfons menilai Indonesia terlalu sering membahas dan membuat aturan, bahkan tolak ukurnya itu masih ke nilai-nilai umum. Tanpa dibuat aturan pun nilai umum seperti pancasila dan kebudayaan tetap harus dijalankan dengan baik. Ditambah lagi sangat banyak aturan yang dibikin tapi realisasi di lapangannya kebanyakan gagal juga.
"Misalnya kasus terbaru ini, masalah kebocoran data di KPU. Itu kan sudah ada aturan dan pedomannya terkait keamanan data ini, tapi masih bisa juga bocor. Seharusnya pemerintah berbenah, bukan lagi berlomba bikin aturan yang hanya garis luarnya saja, tapi juga bahas sampai ke sistemnya (akarnya)," ucap Alfons.
Salah satu contoh yang diberikan Alfons untuk mengatur AI adalah mengatur kriteria pemakaiannya, misalnya batasan apa saja yang boleh dipakai untuk AI atau mencakup ke berapa tera volt yang harus digunakan untuk AI. Kekuatannya juga berapa besar batasan yang harus ditaati nantinya.
Pilihan Editor: Video Viral Teleprompter yang Dipakai Gibran Saat Pidato dalam Bahasa Inggris
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.