David Samuel, Dody Dharma, Dominikus Damas Putranto, dan Samuel Simon yang melakukan modifikasi itu. Para mahasiswa semester tujuh Sekolah Teknik Elekronika dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menamakan dirinya, Big Bang, itu mengembangkan MOSES atau Malaria Observation System and Endemic Surveillance. Istilah gampangnya, mereka memeriksa parasit malaria secara digital.
Malaria dipilih bukan tanpa alasan. Departemen Kesehatan pada 6 Mei lalu mencanangkan pemberantasan jenis penyakit ini secara bertahap di Indonesia. Dimulai pada 2010 untuk Jakarta, Bali, dan Barelang, fokus eliminasi yang terakhir adalah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur pada 2030.
Gerakan itu dianggap selaras dengan tema Imagine Cup 2009--sebuah kompetisi teknologi tahunan yang digelar Microsoft, yakni "Solving the World's Toughest Problem". "Kami pilih yang tentang kesehatan," kata David Samuel. Dalam bidang itu, David dan kawan-kawan sebenarnya sempat mempertimbangkan AIDS dan tuberkulosis (TB).
Tapi, setelah berkonsultasi dengan dokter, AIDS dan TB disingkirkan karena terlalu riskan. AIDS berbahaya karena bisa menular, begitu juga TB, kalau kena dahak penderita. Akhirnya malaria menjadi pilihan. "Dari literatur, kami juga melihat ini pembunuh nomor satu di daerah tropis," katanya.
Total, David menuturkan hasil risetnya, sampai saat ini ada 46 spesies nyamuk anopheles di Indonesia, yang 20 di antaranya terbukti dapat menularkan parasit malaria. Plasmodium, parasit malaria, juga ada beberapa jenis. Tapi, yang paling mematikan adalah Plasmodium falciparum. Menurut data WHO, sebanyak 1 juta orang di dunia meninggal tiap tahunnya akibat terinfeksi parasit itu.
Big Bang membuat MOSES dengan tujuan memudahkan proses diagnosis sampel darah pasien yang demam dan tinggal di daerah rawan penyakit malaria. Mereka mengkombinasikan software dan hardware untuk sebuah konsep telemedis: mengembangkan mikroskop revolusioner yang di-attached ke kamera PDA sehingga kamera bisa memperbesar gambar obyek sampai 1.000 kali. Perbesaran seperti itu pada sampel darah sudah cukup baik untuk sebuah pengujian apakah sel darah merah terinfeksi plasmodium.
Selama ini, penentuan nasib pasien yang tinggal di pesisir, pedalaman, dan tanpa dokter bisa memakan waktu sampai empat hari--melibatkan jasa pos atau kurir. MOSES, yang dioperasikan oleh bidan, diharapkan bisa mempersingkat waktu itu hingga menjadi 10 menit saja. Hasil diagnosis sudah bisa diketahui paling lama satu hari
David cs memastikan cara kerjanya sangat mudah. "Tak sesusah pembuatannya," kata mereka. Dengan PDA-Scope, Dody Dharma menambahkan, sampel darah pasien bisa dijepret langsung dengan kamera PDA oleh petugas medis. PDA juga bisa digantikan telepon seluler lain yang berkamera, asalkan resolusinya 2 megapiksel ke atas. "Supaya gambarnya jelas dan akurat," katanya.
Dengan layanan multimedia messaging service (mms), gambar kondisi sampel darah pasien itu dikirim ke dokter, laboratorium, atau rumah sakit. Data tertulis mengenai kondisi pasien bisa dikirim terpisah lewat short message service (sms).
Sangat praktis, apalagi MOSES juga dilengkapi dengan termometer digital. Tinggal kempitkan ujung sensornya ke ketiak pasien, data sampel darah sudah lengkap dengan suhu tubuh si pasien. "Sedetik juga bisa langsung ketahuan oleh dokter apakah pasien terkena malaria atau tidak," ujar Samuel Simon.
Unsur kecepatan ini memang sangat vital. Dody mengatakan malaria adalah penyakit sederhana sepanjang cepat ditangani kurang dari 48 jam. Lebih dari itu, ia menuturkan, pasien bisa meninggal, "Obat yang diberikan pun bisa menjadi percuma karena timbul penolakan dalam tubuh pasien."
Semua kemampuan MOSES sudah mereka demonstrasikan di kantor Dinas Kesehatan Jawa Barat sebelum benar-benar melangkah ke Imagine Cup 2009 pada awal Mei lalu dan berhasil menggenggam gelar juara di sana. Di tempat yang pertama Big Bang juga memperkenalkan kelebihan server yang bakal digunakan sebagai perekam lalu lintas pengiriman data dari bidan daerah terpencil ke dokter, laboratorium, atau rumah sakit, dan sebaliknya.
Rekaman data bisa digunakan untuk pemetaan wilayah sebaran malaria di Indonesia yang dianggap masih terpencar-pencar. "Ketika kita menanyakan data malaria di Departemen Kesehatan dan Dinas Kesehatan, sibuk kan petugas, cari sana-sini," kata David. "Di halaman panel dokter pada pusat data MOSES riwayat penyakit malaria pasien plus fotonya terpampang lengkap."
Kini, sambil menunggu respons serius dari kantor kesehatan itu, Big Bang bersiap-siap ke Imagine Cup tingkat dunia di Kairo, Mesir. Berbagai penyempurnaan dilakukan seperti memperkecil ukuran Scope pada PDA-Scope sehingga bisa lebih menutupi penggunaan pipa paralon.
Kompetisi akan digelar pada 3-7 Juli mendatang. Di kompetisi ini, setahun lalu, senior David dan kawan-kawan dari ITB menyabet gelar juara kategori Rural. "Nama Indonesia selalu ada di final karena mahasiswa-mahasiswa Indonesia sangat berkualitas," begitu kata Tony Seno Hartono, National Technology Officer PT Microsoft Indonesia, ketika penganugerahan gelar juara pada Mei lalu.
ANWAR SISWADI (BANDUNG) | DIMAS ADITYO