TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi mengkritik pendekatan hilirisasi yang berulang kali disebutkan oleh calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam debat keempat Pilpres 2024 ini, atau kedua untuk cawapres, Gibran mengucapkan kata hilirisasi sebanyak 12 kali. Pasangan dari calon presiden Prabowo Subianto itu menyebutkan hilirisasi sebagai bagian dari program serta dorongan transisi energi dengan mencontohkan biofuel.
Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi, Satrio Manggala, mengatakan pendekatan ekonomi melalui hilirisasi telah terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan dan deforestasi yang luas. Menurut dia, dalam 20 tahun terakhir deforestasi akibat tambang nikel telah mencapai 25 ribu hektare dan dipastikan terus meningkat. Pasalnya, pemberian luas konsesi pertambangan nikel ada di dalam kawasan hutan.
"Dimana dari satu juta konsesi pertambangan nikel yang ada, 765.237 hektare atau 70 persennya ada dalam kawasan hutan, yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi gas CO2 dari deforestasi yang akan terjadi," kata Satrio, Senin, 22 Januari 2024.
Satrio memperkirakan kalau skenario program biofuel pemerintah Indonesia membutuhkan 9 juta hektare perkebunan kelapa sawit baru. Ini jelas bakal memicu deforestasi baru di Indonesia. Apalagi, kata dia, biaya produksi biofuel juga masih lebih tinggi daripada bahan bakar konvensional.
Truk membawa hasil galian dari area tambang nikel Harapan East Hill, Blok Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Tempo/Caesar Akbar
Satrio pun merespons pernyataan Gibran soal pembangunan rendah karbon yang berkeadilan. Menurutnya, itu hanya gimmick. Saat ini pemerintah, menurut Satrio, justru melanggar regulasi dengan menunda pemberlakuan pajak karbon hingga 2025.
Dia menerangkan, penundaan penerapan pajak karbon telah terjadi berulang kali dari rencana pemberlakuannya yang terhitung per 1 April 2022 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. "Pun jika pada akhirnya diterapkan, dengan perhitungan hanya senilai Rp 30 per kilogram emisi CO2, pajak karbon masih terlalu longgar untuk digunakan sebagai instrumen efektif menurunkan emisi."
Pilihan Editor: WhatsApp Uji Fitur Baru Berbagi File Mirip Quick Share di Android