TEMPO.CO, Jakarta - Juru Kampanye Forest Watch Indonesia Agung Ady Setiawan mengatakan lembaganya mencatat telah terjadi deforestasi atau penyusutan luas hutan alam besar-besaran dalam lima tahun terakhir. Menurut dia, total hutan alam yang tersisa yakni 93 juta hektare periode 2017-2021.
"Kalau di kami malah dari 2017-2021 saja deforestasi Indonesia sudah 10,3 juta hektare," kata Agung melalui pesan Whatsapp kepada Tempo, Jumat, 26 Januari 2024.
Terkait polemik data deforestasi di Indonesia antara data Global Forest Watch (GFW) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agung menyebutkan terdapat kekeliruan dari pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Sebelumnya, Menteri Siti mengatakan deforestasi seluas 12,5 juta hektare yang dicatat oleh Global Forest Watch tidak sesuai fakta di lapangan. Dia mempertanyakan metodologi GFW bahwa setiap pohon yang jatuh dianggap deforestasi. Kemudian, interpretasi pengambilan data menggunakan satelit.
Menurut dia, apabila memakai satelit yang berbasis mesin, maka warna hijau gelap dan kasar diinterpretasikan sebagai hutan, padahal bukan. Kasus salah interpretasi satelit itu pernah dialami Indonesia. Pada satelit terlihat hijau gelap dan setelah diperiksa ke lapangan ternyata perkebunan pisang. "Saya dulu sekolah, tidak bisa kalau tidak dicek ke lapangan," kata Siti.
Menanggapi pernyataan tersebut, Agung menyebutkan KLHK melakukan pembaharuan data dan mempublikasikan angka deforestasi per tahun, tentunya dengan definisi deforestasi yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70 Tahun 2017.
Dalam aturan tersebut, kata Agung, deforestasi didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang kemudian dibagi menjadi deforestasi gross dan deforestasi nett.
Jadi, kata dia, deforestasi gross adalah perubahan secara permanen tutupan hutan alam tanpa memperhitungkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan atau pembuatan hutan tanaman. Sementara deforestasi netto adalah perubahan secara permanen tutupan hutan, dengan memperhitungkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan/atau pembuatan hutan tanaman. Dan didefinisikan juga mengenai degradasi hutan sebagai penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu.
"KLHK membuat istilah deforestasi netto, yang mana angka deforestasi akhir yangg keluar itu adalah angka hilangnya hutan setelah dikurangi angka reforestasi. Dan makin anehnya, penanaman kebun hutan tanaman industri monokultur macam akasia atau eukaliptus itu juga dihitung sebagai reforestasi," ungkapnya.
Menurut dia, fakta yang terjadi deforestasi semakin mengarah ke wilayah timur, yakni Maluku dan Papua. "Nah kalau pakai logika KLHK, masak iya kerusakan hutan di Merauke sana bisa digantikan oleh tanaman akasia di Riau," kata dia.
Dalam pemodelan citra satelit, Agung menyebutkan bahwa KLHK masih memakai resolusi yang 30 meter. Sedangkan, menurut dia, lembaganya sudah memakai resolusi yang 5 meter. "Jadi lebih detail dalam memproyeksikan mana hutan dan bukan hutan," ungkapnya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.