TEMPO.CO, Jakarta - Rahmat Zainal mengenang sekitar 15 tahun lalu wilayahnya di pesisir utara Jakarta dipenuhi oleh sampah. Sekretaris Ecomarine Tourism Mangrove (KOMMA) itu pun tergerak bersama kawan-kawannya untuk kembali menghijaukan kawasan tempa tinggalnya di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan.
"Sekitar 2009 itu pertama kami memulai membentuk komunitas Mangrove Muara Angke," kata Rahmat dalam diskusi dengan tema “Lahan Basah Indonesia untuk Kesejahteraan Masyarakat” di Gedung Manggala Wanabakti, Jumat, 2 Februari 2024.
Tahun 2010, Rahmat bersama-sama kawan-kawannya pun tergerak untuk melakukan penanaman mangrove pertama. Ia mencari bibit secara swadaya di hutan mangrove yang ada di Pantai Indah Kapuk. "Dari 100 pohon yang kami tanam, hanya 30 yang bertahan hidup sampai sekarang, penyebab gagalnya yang lain karena cuaca panas dan air pasang," ungkap dia.
Tinggi abrasi di Muara Angke, menurut Rahmat, menyebabkan air pasang bisa menggenangi rumah warga. Namun, setelah mangrove mula banyak yang tumbuh, problem itu sudah mulai berangsur teratasi. "Walaupun belum maksimal, tapi kondisi sekarang sudah mulai tumbuh mangrove dan hijau kembali," kata Rahmat.
Salah satu permasalahan yang belum teratasi, kata Rahmat, yakni timbunan sampah. Menurut dia, sampah yang berada di lokasinya mencapai ketebalan dua meter. "Dulu Pak Anies pas gubernur di tahun 2017 sempat menggali, tapi sampai sekarang belum juga bisa teratasi."
Meski belum bisa berbuat maksimal, Rahmat masih yakin inisiasinya dan kawan-kawan bisa memberi dampak kepada warga sekitar. Salah satunya dengan memanfaatkan lahan mangrove untuk meningkat kesejahteraan warga. "Kami sudah pernah mencoba membuat tambak, tapi limbahnya yang jadi tantangan," kata dia.
Tambak ikan yang coba diinisiasi Rahmat dengan menggunakan konsep Silvofishery. Ia memanfaatkan hutan mangrove sebagai lokasi budidaya ikan nila dan bandeng. Usaha itu diinisiasi tahun 2017, tapi tidak berlanjut karena pencemaran yang terjadi. "Kami sudah pernah 2-3 kali panen, tapi karena adanya limbah oli dari perahu yang lalu-lalang di pesisir jadi ikut berdampak kepada hasil panen," katanya.
Rahmat dan kawan tidak menyerah. Ia mencoba pemanfaatan lain dengan mengolah buah mangrove sebagai dodol dan sirup. Komunitasnya pun mengajak warga sekitar untuk belajar mengolah mangrove sebagai bahan baku batik. "Lumayan karena warga sudah bisa buat pola batik dasar, kami belum berani membesar pemanfaatan karen masih terkendala bahan baku."
Langkah memanfaatkan mangrove sebagai sumber ekonomi dan menjaga alam juga dilakukan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Amin Abdullah lebih memilih aktivitas kesehariannya sebagai petambak udang tradisional di Kecamatan Jerowaru. Ia memanfaatkan lahan seluas 4 hektare dengan membagi menjadi 40 persen tetap sebagai mangrove.
"Mangrove itu nanti bakal menjadi sumber pakan bagi ikan nila, udang, dan kepiting," ujarnya melalui sambungan telepon dengan Tempo, Selasa, 30 Januari 2024.
Ia membagi tambaknya menjadi empat petak. Setiap petak bakal berisi udang dengan ikan nila, udang dengan ikan bandeng, petak lainnya bakal diisi dengan kepiting. "Hasil lumayan buat biaya sekolah anak-anak," ujarnya.
Langkah Rahmat dan Amin ini menjadi salah satu contoh menyelamat hutan mangrove di Indoneaia. Merujuk lada MapBiomas, platform analisis transisi tutupan dan fungsi lahan berbasis citra satelit yang dikembangkan Auriga, dalam 22 tahun terakhir hutan mangrove seluas 87,88 ribu hektare - hampir setara 1,5 kali luas wilayah DKI Jakarta - bersalin rupa menjadi tambak.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.