TEMPO.CO, Jakarta - Dugaan perundungan atau bullying oleh siswa SMA Binus Serpong, salah satu sekolah internasional di BSD, Tangerang, sedang menjadi perbincangan hangat. Diawali dari cuitan di media sosial X, kasus itu semakin disoroti karena melibatkan anak sulung artis VR, yang berinisial FLR.
Bila didalami, bullying termasuk perilaku agresif yang disengaja untuk menindas, merendahkan, serta mendominasi orang lain secara fisik dan mental. Perundungan terjadi di mana saja, mulai dari media sosual (cyberbullying), kantor, bahkan ruang publik. Namun, bullying di sekolah sangat urgen dicegah karena melibatkan remaja yang pikirannya belum matang.
Bagaimana sebenarnya ancaman bullying terhadap kejiwaan remaja?
Penelitian terbaru dari Universitas Tokyo mengungkapkan keterkaitan yang erat antara bullying dengan gejala awal kerusakan mental. Anak-anak yang ditindas oleh teman sebayanya berisiko terkena psikosis, semacam gangguan jiwa, salah satunya karena penurunan kinerja neurotransmitter di wilayah otak yang menentukan emosi.
Perlu diketahui, neurotransmitter memegang peran vital dalam transmisi impuls saraf dari otak. Keseimbangan senyawa itu sering menjadi perhatian utama dalam penanganan gangguan mental. Dilansir dari Earth.com, 5 Februari 2024, dalam kasus psikosis, penderita akan semakin sering berkhayal, perkataan dan perilakunya tidak sinkron, bahkan akan lebih sering mengalami delusi dan halusinasi. Gejala ini juga identik dengan penyakit kejiwaan yang akut seperti skizofrenia.
Hasil studi dari Negeri Sakura mencatat bahwa penderita psikosis awal juga menunjukkan penurunan kadar glutamat, salah satu jenis neurotransmitter. Glutamat banyak ditemukan di anterior cingulate cortex (ACC), bagian otak yang menentukan beberapa fungsi, mulai dari pembelajaran, memori, serta pengaturan suasana hati.
ACC sangat penting untuk mengelola emosi, mengambil keputusan, dan kontrol kognitif atau aktivitas mental. Perubahan kadar glutamat itu sering dikaitkan dengan beragam kelainan psikis. Namun, hubungannya dengan risiko gangguan mental maupun dampak perundungan remaja sebenarnya belum begitu jelas sampai saat ini.
Untuk mengeksplorasi kaitan tersebut, para peneliti menggunakan spektroskopi resonansi magnetik (MRS) untuk mengukur kadar glutamat ACC remaja di Jepang. Mereka memantau perubahan glutamat dari waktu ke waktu, lalu dihubungkan dengan ada tidaknya perundungan. Tujuannya untuk melihat hubungan senyawa kimia otak dengan dampak psikologis dari penindasan.
Para peneliti memakai kuisioner untuk menemukan remaja korban bullying dan memakai pengukuran psikiatris untuk mengevaluasi pengalaman tersebut. Surveinya terfokus pada frekuensi, sifat, dan dampak kesehatan mental yang ditimbulkan agresi fisik atau verbal.
Hasilnya, bullying remaja berpengaruh terhadap gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan kejiwaan. Meski masih harus diperiksa secara menyeluruh, gejala itu mencakup halusinasi dan paranoid atau kelainan pemikiran atau perilaku, sehingga berdampak pada kehidupan si individu.
Pentingnya Pencegahan Bullying
Profesor dari Pusat Penelitian Neurointelligence Internasional Universitas Tokyo sekaligus penulis utama studi tersebut, Naohiro Okada, menekankan soal pentingnya pembelajaran terhadap gejala psikotik tersebut. “Untuk memahami tahap awal gangguan mental, serta untuk mengidentifikasi individu punya risiko penyakit psikotik yang lebih parah di kemudian hari,” ucapnya.
Setelah menemukan kaitan antara kadar glutamat dengan kerusakan mental, penting bagi kita untuk mengatasi perundungan di sekolah. Okada menyarankan program anti bullying yang bisa mendorong interaksi sosial yang positif dan mengurangi agresi. Dia pun menyoroti soal kebutuhan konseling bagi remaja yang telanjur terdampak bullying, dukungan dari rekan sebaya, serta pengerahan berbagai sumber daya kesehatan mental lainnya.
EARTH.COM