TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaludin menanggapi usulan dari Muhammadiyah untuk meniadakan sidang isbat untuk penetapan awal Ramadan.
Menurut Thomas, awal Ramadan harus ditetapkan atau di-isbat-kan oleh pemerintah. “Perukyat tidak bisa mengumumkan sendiri hasil rukyatnya,” kata dia, Sabtu 9 Maret 2024.
Menurutnya, meniadakan sidang isbat akan mengabaikan hak pengamal rukyat seperti dari Nahdlatul Ulama dan organisasi masyarakat lainnya. Rukyat atau pengamatan bulan sabit baru (hilal), lazim dilakukan untuk menentukan penanda awal bulan baru Hijriah dalam kalender Islam.
Selain rukyat, dilakukan juga perhitungan atau hisab terkait posisi bulan yang akan diamati, termasuk untuk menentukan 1 Ramadan 1445 Hijriah sekarang ini sebagai awal puasa. “Rukyat bagi pengamalnya adalah ketaatan atas perintah Rasul agar berpuasa karena melihat hilal,” ujar Thomas.
Meskipun banyak ahli hisab dan sudah diketahui hilal tidak mungkin bisa diamati, para perukyat tetap mengamati. Hasil pengamatan misalnya tidak terlihat tetap dilaporkan untuk sidang isbat yang digelar Kementerian Agama. “Jadi, anggaran bukan pertimbangan,” kata Thomas.
Selain itu, menurutnya, sidang isbat menjadi forum musyawarah para pihak, seperti pakar, ulama, dan ormas untuk membahas hisab dan rukyat. “Keputusan diambil dari hasil musyawarah, lalu diputuskan oleh Menteri Agama dengan Keputusan Menteri,” ujar dia.
Sebelumnya diberitakan, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, mengakui adanya usulan peniadaan sidang isbat itu. "Dengan tidak diadakan isbat, lebih menghemat anggaran negara yang secara keuangan sedang tidak baik-baik saja," katanya.
Selain itu, menurutnya, pemerintah menggunakan kriteria MABIMS, yakni kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. "Dengan kriteria itu, hasil isbat sudah dapat diprediksi dengan jelas," ujar Mu'ti.
Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah untuk mengawali puasa pada Senin, 11 Maret 2024. Sementara itu, dengan kriteria MABIMS, syarat pengamatan ketinggian bulan, yaitu minimal 3 derajat dengan elongasi atau jarak sudut bulan dan matahari di langit minimal 6,4 derajat.
Mengacu kriteria itu, menurut Thomas, potensi awal puasa akan berbeda dengan Muhammadiyah. Alasannya ketinggian bulan saat magrib pada Minggu, 10 Maret 2024 masih sangat rendah sehingga tidak mungkin bisa dirukyat atau diamati.
Secara hisab atau perhitungan pun, menurut Thomas, pada 10 Maret 2024 belum bisa dianggap sebagai bulan baru menurut kriteria MABIMS. “Tetapi kalau menggunakan kriteria wujudul hilal itu sudah bulan baru,” katanya. Karena itu, Muhammadiyah pada malam 10 Maret 2024 akan mulai salat tarawih dan memulai puasa pada 11 Maret 2024.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.