Puas menerjang lautan pasir, kendaraan itu lalu bisa mengubah dirinya lagi, kali ini ke dalam bentuk robot berkaki guna mendaki bukit dan gunung-gunung pasir di gurun yang sama. Sesampainya di puncak, giliran transformasi menjadi sebuah rumah kaca yang mampu melindungi banyak ragam benih selama dua pekan penuh.
Dari mimpi 100 kotak, baru 20 yang sudah diselesaikan lewat sebuah proyek ambisius yang sudah berjalan sejak lebih dari dua tahun lalu. Superbot, begitu robot modul multifungsi itu diberi nama ketika ia mampu berdiri tegak dan utuh.
"Anda tentu saja bisa membuat robot dengan spesialisasi yang lebih beragam lagi, tapi itu akan jadi sangat mahal," kata Wei-Min Shen, Direktur Laboratorium Robotik Polimorfik di University of Southern California yang memimpin proyek itu.
Superbot memang belum bisa bertransformasi menjadi truk ataupun jet tempur F-22 seperti yang dilakukan Optimus Prime, Bumblebee, dan para robot raksasa dalam seri terbaru Transformers yang saat ini masih marak diputar di bioskop-bioskop. Meski begitu, Shen dan para peneliti lainnya belum berhenti berharap suatu hari nanti robot-robot modular seperti Superbot bisa melakukannya juga.
Kuncinya adalah Superbot harus bisa memutuskan secara mandiri kapan dan di mana harus berubah bentuk dan beradaptasi dengan lingkungan sesuai misi yang sedang dijalankan. Saat ini Superbot belum sepenuhnya otomatis dalam mengambil keputusan. Sejauh ini baru kombinasi dengan dua, empat, atau enam kaki yang bisa dilakukannya.
Sebanyak enam dari modul-modulnya bisa membentuk sebuah sabuk rel, sedang kaki-kaki dibentuknya bila ia perlu memanjat atau mendaki. "Jika ia butuh menuruni bukit, ia bisa berubah menjadi bola, lalu menggelinding begitu saja," ucap Shen. Dia menambahkan, gerak menggeleser seperti ular atau merambat bak ulat bulu juga sudah dikuasai.
Namun, Shen menegaskan, menciptakan kecerdasan artifisial untuk meniru apa yang dilakukan para Autobot dan Decepticon dalam film Transformers memang tidak mudah. Menciptakan robot tradisional yang bisa mengambil keputusan dengan level yang lebih tinggi saja sudah terbukti sangat sulit. Nah, robot modular menambah kompleksitas itu karena harus ada keputusan soal bentuk dan ukuran terbaik untuk kondisi lingkungan yang berbeda-beda.
"Anda harus memberi tahu modul-modul itu bentuk apa yang harus diwujudkan," kata Shen. "Berikutnya, biarkan mereka memutuskan 'Baik, kalau begitu, saya butuh tiga kaki lagi', misalnya."
Untuk menghadapi tantangan itu, laboratorium yang dipimpin oleh Shen itu mencoba mengeksploitasi ilmu biologi. Mereka mencetuskan ide "hormon digital" yang mensimulasikan cara-cara hormon dalam mempengaruhi pikiran dan tubuh.
Dalam aplikasinya, beberapa modul bisa dirancang membanjiri sinyal ke modul lainnya demi bisa mengkomunikasikan instruksi-instruksi yang diberikan. Contoh instruksi itu adalah apakah mereka harus bertransformasi ke dalam bentuk Superbot yang berjalan atau menggelinding.
Superbot memang saat ini menjadi mimpi paling liar NASA yang juga ingin membangun stasiun antariksanya yang bisa terangkai sendiri. Stasiun seperti itu jelas bisa membantu mengeliminasi kebutuhan spacewalk oleh para astronot yang bukan saja mahal dan berisiko, tapi juga makan waktu.
Mimpi itu diakui Shen dan koleganya, Peter Will, yang sudah mendemonstrasikan kondisi gravitasi mikro ala luar angkasa kepada Superbot, masih terlalu muskil. "Tapi, inilah masa depan itu," kata Shen menunjuk Superbot. "Kami percaya bisa membuat robot yang lebih baik atau mungkin mencipta robot yang lebih baik yang bisa mentransformasi dirinya."
WURAGIL | LIVESCIENCE | USC