TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah meneliti erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah yang berdampak signifikan terhadap kekeruhan atmosfer atau turbiditas. Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Lilik Slamet Supriatin, mengatakan turbiditas atmosfer dapat disebabkan oleh faktor alami dan aktivitas antropogenik, seperti kebakaran hutan, polusi udara, serta badai debu dan pasir. Fenomena ini mempengaruhi kehidupan manusia.
“Berdampak pada berkurangnya visibilitas, gangguan kesehatan, gangguan pemandangan kota, serta koefisien pemadaman,” kata Lilik melalui keterangan tertulis, Jumat, 16 Agustus 2024.
Di area Gunung Merapi, kata dia, turbiditas atmosfer berasal dari awan panas atau wedus gembel, serta debu vulkanik yang dihasilkan saat erupsi. Catatan BRIN soal koefisien pemadaman menunjukkan berkurangnya cahaya matahari yang diterima di suatu permukaan.
Pada hari yang bersih, koefisien ini berada di angka 30 persen, sedangkan pada hari yang berpolusi mencapai 65 persen. Perubahan koefisien pemadaman hingga 10-20 persen bisa membuat daya pandang atau visibilitas merosot 50 persen.
Lilik dan para anggota Kelompok Riset Lingkungan Atmosfer mencoba mengukur turbiditas dengan rasio antara radiasi global yang diukur di permukaan dengan radiasi global di puncak atmosfer. “Namun, karena kesulitan mendapatkan instrumen pengukuran radiasi di permukaan, kami menghitung indeks turbiditas menggunakan teknik penginderaan jauh, yaitu mengambil data produktivitas primer kotor (GPP) dari satelit,” kata dia .
Teknik pengukuran produktivitas primer kotor meliputi teknik hasil panen, oksigen, dekomposisi sampah, radioaktif, serta penginderaan jauh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai GPP sebelum, selama, dan setelah erupsi Gunung Merapi.
Para peneliti BRIN ini juga mencari tahu efek koefisien pemadaman akibat erupsi dengan pendekatan nilai GPP. “Merumuskan perubahan komponen neraca radiasi gelombang pendek akibat erupsi,” ucap Lilik.
Dari pemantauan satelit Aqua dan Terra MODIS, Lilik memperoleh data yang menunjukkan penurunan produktivitas primer kotor yang signifikan, imbas erupsi pada 2006, 2010, dan 2023. Pada erupsi 2006, produktivitas primer kotor turun 3 persen dari pra meuju pasca-erupsi. Pada 2010 penurunannya mencapai mencapai 36 persen, sedangkan pada 2023 sampai 11 persen.
“Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh energi kalor, jangkauan luncuran lahar panas, dan awan panas yang lebih besar pada erupsi 2010,” ucap Lilik.
Faktor lain yang mempengaruhi penurunan produktivitas primer kotor adalah waktu erupsi yang bertepatan dengan posisi matahari terhadap bumi. Ada juga dampak jenis tanaman yang terlibat dalam proses fotosintesis. “Penelitian ini mengambil data di Taman Nasional Gunung Merapi,” katanya.
Pilihan Editor: Studi IBM Ungkap Hambatan Adopsi AI, Bagaimana Kondisinya di Indonesia?