TEMPO.CO, Jakarta - Edi Suriana, warga Kelurahan Suralaya di Kota Cilegon, Banten, masih mempertanyakan komitmen pemerintah ihwal rencana penutupan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU Suralaya. Pasalnya, pemerintah terkesan masih setengah hati mengeksekusi rencana yang diklaim bisa mengatasi masalah polusi udara di Jakarta itu.
“Jika sudah tidak layak, kenapa harus dipaksa produksi?" kata Edi kepada Tempo, Rabu, 21 Agustus 2024.
Fasilitas pembangkit listrik di Suralaya itu dibangun pada 1984. Pembangkit pertama yang dibangun adalah PT Power Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya atau sering disebut dengan PLTU Suralaya Lama. Proyek itu awalnya terdiri dari 2 unit pembangkit, kemudian secara bertahap menjadi 7 unit pembangkit dengan total kapasitas terpasang 3.440 Megawatt (MW).
Pembangkit ke-8 yang dibangun pada Desember 2011 kemudian disebut sebagai Suralaya Baru. Meski proyek ini menuai protes, terutama akibat polusi dari pembakaran batu bara, pemerintah kembali menambah dua pembangkit lagi, yaitu PLTU Unit 9 dan Unit 10, dengan total kapasitas 2 x 1.000 MW. Proyek yang dibangun mulai Januari 2020 ditargetkan beroperasi pada 2024.
Belakangan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan akan mengkaji kemungkinan penutupan PLTU Suralaya. Meski sudah dipastikan untuk menekan polusi udara Jakarta, belum ada rincian soal unit mana yang ditutup.
Sejak beroperasi sejak 40 tahun lalu, kata Edi, PLTU Suralaya tidak banyak mengakomodir kebutuhan warga di sekitar basisnya, Menurut dia, selama ini kesempatan kerja bagi warga tidak terpenuhi. Jumlah warga Suralaya yang bekerja di PT PLN Indonesia Power, sebagai operator PLTU Suralaya Unit 1-8, disebut kurang dari 10 orang.
"(Warga Suralaya) tidak ada 1 persen dari total karyawan Indonesia Power," kata dia.
Edi membenarkan ada ratusan warga yang bekerja sebagai petugas keamanan maupun petugas kebersihan di PLTU Suralaya. Namun, pendaftarannya melalui agensi yang bermitra dengan Indonesia Power. "Yang jadi security kurang lebih 30 orang dan yang ikut kerja di cleaning service atau lainya sekitar 200-300 orang,” tutur Edi.
Bukan hanya peluang kerja yang minim, dia menyebut operator PLTU Suralaya juga tidak memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan alias CSR. Tanggung jawab yang dimaksud adalah pemenuhan hak kesehatan bagi warga yang terkena gangguan pernapasan akibat polusi udara.
Sekretaris PT Indonesia Power, Agung Siswanto, mengatakan entitasnya telah mematuhi aturan ambang batas baku mutu lingkungan. Dia juga mengklaim bahwa polusi yang ditimbulkan dari operasional PLTU Suralaya tidak melebihi batas yang layak bagi kesehatan warga.
"Pada prinsipnya kami selaku operator mengikuti regulasi pemerintah," kata Agung kepada Tempo pada April 2024.
Pilihan Editor: Bocoran Ungkap Kapasitas Baterai dan Kecepatan Pengisian Daya Oppo Find X8 Ultra