TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menanggapi klaim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan bahwa capaian perhutanan sosial hingga Agustus 2024 sebesar 8 juta hektare. Walhi menilai capaian itu masih gagal memenuhi target 12,7 juta hektare perhutanan sosial selama dua periode Jokowi.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Uli Arta Siagian mengatakan KLHK tidak pernah menjelaskan secara detail dan memeriksa dengan benar target sasaran perhutanan sosial adalah warga yang benar-benar membutuhkan lahan atau masyarakat yang selama ini mengelola kawasan hutan tersebut.
"Tidak sedikit temuan mengungkapkan pihak-pihak penerima perhutanan sosial adalah perusahaan yang membentuk kelompok tani fiktif," kata Uli kepada Tempo, Selasa, 3 September 2024.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan luas kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat secara berkelanjutan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlahnya kemungkinan bisa terus bertambah.
"Kalau kita lihat datanya pada tahun 2015 itu kira-kira kombinasi perizinan antara swasta dan masyarakat itu antara 96 persen untuk swasta dan 4 persen untuk masyarakat. Data tahun 2024 setelah kami teliti ternyata kombinasinya menjadi lebih baik 74,4 persen swasta dan 25 persen lebih untuk masyarakat," kata Siti dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI yang dikutip Antara, Senin, 2 September 2024.
Siti menjelaskan, penambahan persentase luas kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat itu karena beberapa program pemerintah, termasuk Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Menurut data KLHK, Program Perhutanan Sosial per Agustus 2024 telah mencapai luas 8,018 juta hektare bagi 1,4 juta kepala keluarga. Dari luas tersebut, telah ditetapkan hutan adat seluas 265.250 hektare, dan yang sedang berproses untuk penetapan seluas 836.141 hektare.
Selain perhutanan sosial, menurut Uli, TORA yang selama ini menjadi bagian nawacita Jokowi juga mengalami kegagalan. Khusus TORA, pelepasan kawasan hutan hanya mencapai 9 persen. "Artinya, pemerintah tidak benar-benar mau mengakui kepemilikan rakyat atas wilayah kelolanya yang telah dirampas negara melalui penetapan Kawasan Hutan Negara secara sepihak."
Uli juga mempertanyakan pengakuan hutan adat, yang kondisinya memiriskan. Menurut dia, capaian pengakuan hutan adat hanya 1 persen selama 10 tahun Jokowi memimpin. "Hanya sekitar 300 ribu hektare dari potensi hutan adat seluas 22 juta," kata dia.
Uki mengutip pernyataan Menteri LHK yang menyatakan bahwa proporsi pengalokasian hutan masih lebih besar untuk korporasi. "Hal ini masih meneguhkan kebaikan hati Jokowi ke korporasi dan keengganan Jokowi mengakui hak rakyat, baik masyarakat adat dan komunitas lokal atas wilayah adatnya dan wilayah kelolanya," ujarnya.
Pilihan Editor: BMKG: Waspada Potensi Gelombang Tinggi 2,5 Meter di Beberapa Perairan, Kecepatan Angin Tertinggi di Sabang