TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, mengatakan Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 memperkuat upaya perlindungan terhadap pejuang lingkungan hidup. Beleid yang diteken pada Agustus lalu ini membantu aktivis lingkungan terhindar dari pembalasan ketika menyampaikan pendapat.
"Tindakan pembalasan itu dapat berupa pelemahan perjuangan dan partisipasi publik,” ucapnya dalam konferensi pers di Kantor KLHK, Jakarta, Selasa, 17 September 2024.
Pembalasan terhadap aktivis lingkungan, kata Rasio, bisa juga berupa ancaman dan lisan, kriminalisasi dan kekerasan fisik atau psikis, somasi, serta gugatan pidana dan perdata. Selama ini pelindungan terhadap pejuang lingkungan juga diatur lewat Pedoman Kejaksaan Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Peran KLHK dalam pelindungan hukum pegiat lingkungan kini bertambah. "Untuk menilai apakah kasus tersebut merupakan tindakan pembalasan atau tidak, sebagai dasar untuk menyetujui permohonan pelindungan hukum,” tutur Rasio.
Untuk kebutuhan tersebut, Menteri LHK membentuk Tim Penilai Penanganan Tindakan Pembalasan yang berjumlah ganjil dan beranggotakan minimal tujuh orang. Tim ini terdiri dari pejabat internal KLHK dan perwakilan lembaga negara lain, penegak hukum, regulator daerah, serta akademisi.
Dengan Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024, Rasio meneruskan, pejuang lingkungan dipastikan mendapat hak dalam proses hukum. Merujuk Pasal 2 ayat (2) regulasi tersebut, pelindungan hukum bisa diberikan kepada individu, kelompok, organisasi lingkungan hidup, akademisi atau ahli, masyarakat hukum adat, hingga badan usaha yang berperan dalam perlindungan lingkungan.
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,” begitu bunyi salah satu pasal dalam Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024. Aturan anyar ini pada dasarnya merupakan turunan Pasal 66 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, mengatakan Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 bisa mendorong restoratif justice atau pendekatan mediasi, ketika timbul masalah dalam kegiatan aktivis lingkungan. Dengan beleid tersebut, aparat penegak hukum diharapkan tidak lagi mengedepankan prinsip kriminalisasi.
"Biasanya aktivis di bidang lingkungan memiliki kerentanan untuk dilaporkan balik, mengalami kriminalisasi, kemudian intimidasi dan ancaman,” ucap Anis kepada Tempo.
Pilihan Editor: Dewan Adat Minta BRIN Tak Pindahkan Benda Arkeologi Papua ke Cibinong Science Center