Menu baru inilah yang kemudian mengantar Dibya Pradana, pendiri sekaligus CEO ayofoto.com, memenangi Indonesia ICT Award 2009 untuk kategori E-Business SME (Small and Medium Enterprise), Rabu pekan lalu.
Ide membuat layanan stok foto ini muncul tahun lalu, saat situs ini menginjak usia tiga tahun. "Saya ingin membuat layanan lebih, yaitu jual-beli foto, tapi konsepnya seperti apa saat itu belum tahu," kata Dibya saat ditemui iTempo di kantornya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Kamis lalu.
Baca Juga:
Setelah mempelajari sistem jual-beli foto online di luar negeri, Dibya akhirnya memutuskan membuat layanan stok foto online lewat situsnya itu. Dengan menjual foto lewat layanan stok foto online, kata Dibya, hasil karya foto seseorang bisa dijual berulang-ulang.
Layanan jual-beli foto ini seperti bisnis musik, yang tengah booming saat ini. Musik atau lagu tak lagi dijual dalam bentuk kaset atau cakram padat, tapi juga dijual dalam bentuk ring back tone (RBT) pada ponsel.
Harga jual RBT ini memang tak seberapa. "Tapi kan lagu itu diunduh banyak orang. Dengan dijual berulang-ulang, hasilnya malah luar biasa," ujar pria 34 tahun ini. Demikian halnya jika fotografer menjual fotonya lewat layanan ini.
Dalam sistem ini, yang dijual adalah hak guna sebuah foto, bukan hak cipta, seperti menjual sebuah karya seni. Karena yang dijual hak gunanya, di ayofoto.com sebuah foto tak pernah berharga jutaan rupiah.
"Paling-paling ratusan ribu, termurah bisa Rp 10 ribuan," kata penyandang gelar magister teknologi informasi dari Universitas Indonesia ini. Foto yang dijual tak dibanderol dalam ukuran mata uang, melainkan berdasarkan kredit. Tiap kredit setara dengan Rp 2.000. Jika ada foto nilainya 20 kredit, misalnya, sama saja seharga Rp 40 ribu.
Harga foto yang dijual juga berbeda-beda, tergantung ukuran yang dibutuhkan. "Kalau dibeli untuk online, ukuran 72 dpi juga cukup. Kalau untuk media cetak, 300 dpi sudah cukup." Memang tak semua foto bisa dijual di sini. Pihaknya menerapkan syarat ketat bagi yang berniat menjual fotonya lewat ayofoto.com. Karena akan dijajakan untuk kepentingan dunia bisnis atau industri, foto-foto yang ditampilkan tentu harus berkualitas baik.
Misalnya tidak boleh ada cacat fisik, seperti blur atau warna kabur. Jika foto menampilkan orang atau tempat, si pemotret juga harus menyertakan persetujuan si obyek foto atau pemilik tempat. "Kalau tidak sesuai dengan standar itu, ya, kita buang," ujarnya.
Foto yang dijual juga dibatasi minimal dengan resolusi 6 megapiksel, dan maksimal 35 megapiksel. Mereka yang ingin menjual foto harus mendaftar dulu seperti halnya menjadi anggota komunitas ayofoto.com. Adapun untuk bisa mengunggah foto yang akan ditawarkan kepada pembeli, penjual wajib menyertakan identitas, seperti KTP, yang dikirim via surat elektronik setelah dipindai.
Sebelum foto dijual, pihaknya akan melakukan seleksi. "Kami punya kurator." Setelah lolos seleksi dan ditetapkan kreditnya, foto baru bisa ditampilkan. Jika ada pihak yang tertarik, hasil penjualan foto dibagi dengan perbandingan 40 : 60 untuk fotografer dan ayofoto.com.
Tapi untuk bisa menampilkan foto yang akan dijual, pihaknya menerapkan bayaran lebih dulu. "Sehari tak sampai seribu rupiah, per tahun Rp 350 ribu saja," katanya. Biaya itu untuk membiayai infrastruktur, seperti bandwidth, yang butuh biaya cukup besar.
Portal ini didirikan karena Dibya melihat banyaknya fotografer Indonesia yang menjual karyanya ke luar negeri. "Ini ironis, hal-hal tentang Indonesia dijual di luar negeri."
Dengan layanan ini, ia berharap para fotografer muda atau siapa pun yang bukan dari kalangan foto-profesional juga bisa ikut menghasilkan uang dari menjual foto-foto kreatifnya.
Layanan stok foto online memang tak mengutamakan reputasi sang fotografer. "Pembeli kan tidak perlu fotografer itu terkenal atau tidak, tapi yang penting fotonya bagus dan sesuai dengan kepentingan bisnis mereka," ujar ayah tiga orang putri ini.
DIMAS