TEMPO Interaktif, Bandung - Sriwijaya lepas landas dengan sempurna. Setelah melewati rintangan pertama berupa gerbang yang terbuat dari dua tiang, ia melayang berputar-putar. Gerakannya setenang burung elang mengincar mangsa di bawahnya.
Tiga menit kemudian, pesawat mulai menukik untuk mendarat. "Krak!" Badan pesawat patah menjadi dua karena pendaratan tak berlangsung mulus. Tak ada korban luka, apalagi korban jiwa, dalam insiden itu. Sriwijaya hanyalah sebuah pesawat aeromodelling.
Namun, kecelakaan itu amat mengecewakan Budiharto, pilot pesawat tersebut, dan rekan timnya. Pupus sudah penerbangan berikutnya akibat patahnya tulang badan pesawat, yang terbuat dari sebatang alat pancing berbahan karbon.
Bukan hanya Budiharto yang kecewa. Penonton yang memenuhi gedung serbaguna Institut Teknologi Bandung juga menyesalkan kejadian tersebut. Maklum saja, dari belasan peserta Indonesian Indoor Aerial Robot Contest pada 11-12 Oktober itu, hanya segelintir tim yang bisa menerbangkan pesawat model bermesin itu sesuai dengan harapan. Sriwijaya termasuk tim yang berhasil mewujudkan impiannya: terbang dengan kecepatan rendah, seperti orang berjalan. Lajunya sekitar 4 kilometer per jam.
Lomba yang digelar Himpunan Mahasiswa Penerbangan Aeronautika dan Astronautika ITB itu memang tergolong unik karena mensyaratkan kemampuan terbang pelan, bukan terbang secepat kilat. Mengadopsi kontes robot terbang sejenis yang digelar tahunan oleh Universitas Tokyo, Jepang, kompetisi ini dilakukan di ruang tertutup. Bentuk pesawat boleh seperti apa saja asalkan berjenis unmanned aerial vehicle.
Syarat lain yang cukup menantang adalah bobot total pesawat radio control itu seringan mungkin, tak lebih dari 150 gram. "Itu tantangannya dan pesawat harus terbang lambat," ujar Budiharto.
Menurut penggemar pesawat aeromodelling berusia 67 tahun itu, tak mudah membuat pesawat seringan itu. "Ini baru bagi saya," kata karyawan sebuah perusahaan tambang itu. Dia pun harus memutar otak mencari bahan-bahan berbobot enteng. Selain alat pancing dan senarnya, ia membungkus kerangka kayu balsa pesawatnya dengan plastik pembungkus makanan higienis.
Ketinggian lokasi ternyata juga memainkan peran penting dalam pesawat aeromodelling. Palembang, tempat tinggal Budiharto, terletak di dataran rendah dengan kerapatan udara lebih tinggi daripada Bandung, yang berada di dataran tinggi. "Diuji coba di (Bandung) sini terbangnya tidak sebaik di Palembang," katanya.
Dalam aturan mainnya, kata ketua panitia acara Sayyidati Mirah, setiap pesawat yang dilengkapi kamera kecil seberat 15 gram bertugas mengintai obyek di permukaan tanah selama 10 menit. Target berupa huruf, angka, dan simbol lain, yang tercetak pada 20 lembar kertas ukuran A2-A4, yang disebar di area seluas empat lapangan badminton.
Untuk memenangi lomba, tiap tim harus mencatat target yang terlihat pada layar monitor di sebuah ruang tertutup. "Observer harus menyalin apa saja yang dilihat pesawat," kata Sayyidati. Nilai ditentukan banyaknya obyek yang tercatat secara akurat.
Jika pesawat melayang terlalu cepat, bisa ditebak bagaimana hasil yang diperoleh. "Saya cuma dapat empat," kata Sufendi, observer tim Big Butterfly dari Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Mahasiswa jurusan elektro semester V itu mengakui laju pesawat timnya masih kurang lambat. Tapi, dibanding tim lainnya yang banyak kesulitan terbang, pesawat kelompok itu berhasil mengangkasa dengan sedikit touch down (terjatuh), yang membuat pesawat rusak.
Meski cuma berhasil mencatat empat target, tim Big Butterfly boleh bertepuk dada. Mereka meraih posisi pertama untuk kategori perguruan tinggi, menyisihkan tim The Cube dari ITB dan Tim Go Black asal UGM, yang meraih juara kedua dan ketiga. Sedangkan di kategori umum, yang diikuti empat peserta, juara pertama disabet Tim Sriwijaya Aeromodelling, Palembang, dan Tim Maleo dari ITB di posisi kedua.
Djoko Sardjadi, dosen teknik penerbangan ITB, mengatakan kontes itu bisa menjadi solusi bagi industri pesawat terbang. "Menjadi inspirasi mencari teknologi tinggi pembuatan pesawat," katanya.
Ide dari pesawat aeromodelling bisa dikembangkan untuk pesawat penumpang maupun pengembangan pesawat tanpa awak guna keperluan pengintaian musuh, surveillance, pemetaan wilayah, atau pencarian material logam dengan sensor. "Pesawat Pak Budiharto, misalnya, bisa dipakai untuk pertambangan," kata Djoko.
Meski terkesan main-main, pesawat radio control ini membutuhkan keahlian khusus. Pembuat pesawat aeromodelling paling tidak harus menguasai tujuh pengetahuan, di antaranya bahan pesawat, konstruksi, aerodinamika, stabilitas pesawat, pengendalian, dan cara menerbangkannya. Itulah kenapa, kata dia, pesawat aeromodelling tidak direkomendasikan untuk permainan anak-anak, di kelompok Pramuka misalnya. "Lebih tepatnya ini mainan orang dewasa," ujarnya.
ANWAR SISWADI