Pekan lalu, dia rapat maraton di kantor Kementerian Hukum dan HAM menuntaskan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut. Menurut Nelly--panggilan akrab Masnellyarti--jika di kementerian ini beres, rancangan itu akan dibawa ke Sekretariat Negara untuk disahkan sebagai peraturan pemerintah.
Nelly sudah melakukan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian. Maklum, Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan di lahan gambut yang luasnya 32.656.106 hektare. "Peraturan ini memuat kriteria dan standar sehingga jadi pedoman pemerintah memberikan izin pengelolaan lahan gambut kepada pihak lain."
Kementerian Lingkungan Hidup juga sudah mensinkronkan rancangan aturan ini dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Tujuan aturan ini untuk mengembangkan budidaya sawit, memelihara kelestarian fungsi lahan gambut, serta meningkatkan produksi dan pendapatan produsen sawit.
Rancangan aturan tentang lahan gambut merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pasal 21 dan pasal 56 undang-undang itu, Kementerian Lingkungan Hidup ditugasi membuat Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut.
Tak sekadar tugas, peraturan itu memang dibutuhkan. Bukan apa-apa, secara ekosistem, gambut sangat rentan terhadap kebakaran sehingga manajemen airnya harus dijaga. Lahan ini ibarat api dalam sekam yang jika terbakar sulit dikendalikan. Ekosistem gambut juga penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, yakni sebesar 1,4 gigaton akibat seringnya terjadi kebakaran dan turunnya muka air tanah di lahan ini.
Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan komitmen pemerintah untuk menurunkan target emisi sebesar 26 persen pada 2020 dari kondisi business as usual. "Karena itu pengelolaan ekosistem gambut yang berkelanjutan sangatlah strategis sebagai salah satu prioritas program nasional," kata Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta ketika membuka Lokakarya Pengelolaan Ekosistem Gambut bulan lalu.
Selama 30 tahun lebih, pengelolaan lahan gambut kurang memperhatikan prinsip-prinsip ekologi dan karakteristik ekosistem yang sebenarnya. Akibatnya timbul berbagai masalah, seperti rusak dan tidak produktifnya lahan gambut di Sumatera seluas 2,669 juta hektare atau 37 persen, hilangnya keanekaragaman hayati, kebakaran hutan dan asap, banjir terus-menerus di luar musim hujan, tanah sulfat masam, masalah sosio-ekonomi, hilangnya mata pencarian masyarakat, kemiskinan, serta dampak lanjut yang ditimbulkan.
Menurut Antung Deddy R., Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Sungai dan Danau Kementerian Negara Lingkungan Hidup, belum adanya peraturan berbasis ekosistem merupakan kendala dalam pengelolaan lahan gambut. "Di sini peraturan terpisah antar sektor, seperti kehutanan, lingkungan pertambangan, dan sumber daya air," katanya.
Kendala lain juga berjejer, mulai belum adanya data karakteristik gambut sebagai baseline perencanaan, belum jelasnya data pasti lahan gambut, lemahnya kerja sama pemerintah pusat dan daerah, LSM, serta dunia usaha. Peraturan pemerintah ini, kata Antung, mengatur penataan kelembagaan, pemetaan ekosistem gambut dan penetapan fungsi lahan gambut, pengelolaan sesuai kondisi lokal (mengikuti sistem hidrologi) yang dilanjutkan dengan rencana aksi, serta pengendalian kerusakan.
Dalam rancangan peraturan pemerintah, menteri bidang pengelolaan lingkungan hidup menetapkan fungsi ekosistem gambut setelah mempertimbangkan masukan dari menteri terkait dan atau gubernur. Fungsi ekosistem gambut terdiri atas: kawasan lindung kubah gambut dan kawasan budidaya gambut. Penetapan fungsi ekosistem gambut ini menjadi dasar pertimbangan penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Pada pasal 8 rancangan peraturan itu dijelaskan bahwa kawasan lindung kubah gambut berada di sekitar titik tengah puncak kubah gambut yang luasnya paling sedikit 30 persen dari seluruh area kesatuan hidrologis gambut, atau yang kedalamannya lebih dari 3 meter. Ekosistem gambut di luar kriteria ini ditetapkan sebagai kawasan budidaya gambut.
Pasal 8 ini menjadi penting. Maklum, pada draf sebelumnya, kriteria kawasan lindung kubah gambut hanya pada luasan minimal 30 persen. Padahal banyak lahan gambut yang memiliki kedalaman di atas 3 meter. "Kami sangat peduli agar lahan gambut tetap sebagai wilayah penyimpan air," kata Jaya Murni Wargadalam, Direktur Rawa dan Pantai Departemen Pekerjaan Umum. Pemerintah, ujarnya, harus memperketat agar kawasan lindung gambut tidak beralih fungsi menjadi kawasan budidaya. Dari 33,4 juta hektare rawa di Indonesia, 18-20 juta hektare berada di kawasan lahan gambut.
Di lapangan, alih fungsi lahan gambut terus meruyak. Di Riau misalnya, dari 4 juta hektare lahan gambut sebanyak 1,2 juta hektare (31 persen) sebagai kawasan lindung gambut. Malangnya, "Sekitar 83 persen kawasan lindung sudah dibebani hak," kata Antung Dedi. Ada yang untuk HTI, HPH, PBS, SM/CA, dan lainnya.
Sawit Watch menyebut getolnya pemerintah daerah sepanjang tahun 2006-2008 memberikan izin kepada perusahaan sawit di kawasan gambut Kalimantan dan Sumatera. Provinsi yang berambisi memperluas kebun sawitnya secara besar-besaran antara lain Kalimantan Barat sejumlah 706,3 hektare, Kalimantan Tengah 239,4 hektare, dan Riau 792,6 hektare. Sawit Watch menemukan sekitar 348 perusahaan sawit dengan luas rata-rata 3.149 hektare setiap perusahaan.
Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan Dwi Sudarto mengakui sulitnya mencabut izin perkebunan di lahan gambut. Pihaknya, kata Dwi, harus menyusun data tata ruang kawasan hutan bersama dengan pemerintah provinsi. Setelah disusun, data diserahkan kepada tim terpadu yang terdiri atas perwakilan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Lingkungan Hidup, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. "Setelah ada hasil dari tim terpadu, barulah dimintakan persetujuan ke DPR," katanya.
Nyoman Suryadiputra, Ketua Wetland International, menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Ekosistem Gambut bakal berbenturan dengan berbagai macam peraturan instansi dan kepentingan lainnya, antara lain, katanya, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta Instruksi Presiden 02 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Belum lagi Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut serta Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. "Masih banyak perbedaan penafsiran yang harus perlu disinkronisasikan," kata Nyoman. Tampaknya, pekerjaan rumah Masnellyarti masih menumpuk.
UNTUNG WIDYANTO